Mata Kuliah
|
Dosen
Pembimbing
|
Pengantar Filsafat
|
Abdul
Hadi, S.Ag M.Ag
|
FILSAFAT
SKOLASTIK
Oleh: Kelompok 9
Muhammad
Fikri
|
:
|
18.12.4527
|
Muhammad
Nashrul Fahma
|
:
|
18.12.4495
|
Muhammad
Nasir
|
:
|
18.12.4614
|
Muhammad
Mirwan
|
:
|
18.12.4536
|
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT AGAMA
ISLAM DARUSSALAM
MARTAPURA
2018-2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Allah SWT, karena dengan taufik dan hidayah-Nya jualah kami mampu menyelesaikan
makalah pancasila yang berjudul “FILSAFAT SKOLASTIK”.Sholawat dan salam
senantiasa kita curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta
seluruh keluarga beliau, sahabat-sahabat beliau, dan para pemgikut beliau dari
dulu, sekarang dan masa akan datang.
Di dalam penyajian
makalah ini, kami berusaha menyajikan dalam bentuk yang sederhana, agar mudah
dalam menelaah dan memahaminya. Kami berharap dapat bermanfaat tidak hanya
untuk penyusun pada khususnya, tetapi pembaca pada umumnya.
Kami menyadari
keterbatasan yang terdapat di dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu,
kami berharap kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak, terutama
dari bapak Abdul Hadi, S.Ag M.Ag, sebagai dosen
pembimbing mata kuliah Pengantar Filsafat demi menyempurnakan isi, cara
penulisan, dll.
Akhir kata, kami ucapkan
terimakasih kepada para penerbit dan pengarang buku, serta situs internet dalam
mengikat pembahasan yang bersentuhan langsung dengan topik yang kami susun.
Martapura,
1 Januari 2019
Penulis :
Kelompok
9
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang............................................... 1
B.
Rumusan Masalah.......................................... 2
C.
Tujuan............................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Skolastik....................................... 3
B.
Sejarah Filsafat
Skolastik............................... 4
C.
Perkembangan Filsafat
Skolastik................... 6
D.
Masa Awal Skolastik....................................... 7
E.
Masa Kejayaan Skolastik.............................. 10
F. Masa Akhir Skolastik.................................... 13
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan................................................... 16
B. Saran............................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat pada abad pertengahan
(476-1492) adalah suatu arah pemikiran yang berbeda sekali dengan arah
pemikiran dunia kuno. Filsafat abad pertengahan menggambarkan suatu zaman yang
baru sekali di tengah-tengah suatu rumpun bangsa yang baru, yaitu bangsa Eropa
barat. Filsafat yang baru ini disebut Skolastik. Filsafat barat abad petengahan
dapat dikatakan sebagai “abad gelap” karena berdasarkan pada pendekatan sejarah
gereja, saat itu tindakan gereja sangat membelenggu kehidupan manusia, sehingga
manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi dirinya.
Semua hasil-hasil pemikiran manusia diawasi oleh kaum gereja dan apabila
terdapat pemikiran yang bertentangan dengan ajaran gereja, maka orang yang
mengemukakannya akan mendapatkan hukuman yang berat.
Masa abad pertengahan dibagi
menjadi 2 (dua) masa yaitu masa Patristik dan masa Skolastik. Istilah skolastik
adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti sekolah. Atau
dari kata schuler yang mempunyai arti kurang lebih sama yaitu ajaran atau
sekolahan. Yang demikian karena sekolah yang diadakan oleh Karel Agung yang
mengajarkan apa yang diistilahkan sebagai artes liberales (seni bebas) meliputi
mata pelajaran gramatika, geometria, arithmatika, astronomi, musika, dan dialektika.
Dialektika ini sekarang disebut logika dan kemudian meliputi seluruh filsafat.
Jadi, skolastik berarti aliran atau yang berkaitan dengan sekolah.
Tema filsafat periode ini adalah hubungan akal budi dan iman, adanya dan
hakekat Tuhan, antropologi, etika dan politik. Otonomi filsafat yang bertumpu
pada akal, yang merupakan salah satu kodrat manusia dipertahankan. Para filosof
aliran skolastik menerima doktrin gereja sebagai dasar pandangan filosofisnya.
Mereka berupaya memberikan pembenaran apa yang telah diterima dari gereja secara
rasional.
Prinsip metode skolastik adalah sintesis-deduktif. Prinsip ini menekankan segi yang sebenarnya terdapat pada semua filsafat dan ilmu. Prinsip deduktif adalah prinsip awal dari filsafat skolastik. Bertitik tolak dari prinsip sederhana yang sangat umum diturunkan hubungan-hubungan yang lebih kompleks dan khusus. Di dunia barat sudah lama dikenal prinsip logika Aristoteles. Prinsip logika ini diintegrasikan dengan prinsip ajaran neoplatonis dan agustinian. Prinsip aristotelian mengenai nova logica mendapatkan koreksi dan tambahan pada ajaran neoplatonis. Metode-metode itu diinterpretasikan dengan cara dan gaya lebih baru yang dikembangkan oleh Thomas Aquinas
Prinsip metode skolastik adalah sintesis-deduktif. Prinsip ini menekankan segi yang sebenarnya terdapat pada semua filsafat dan ilmu. Prinsip deduktif adalah prinsip awal dari filsafat skolastik. Bertitik tolak dari prinsip sederhana yang sangat umum diturunkan hubungan-hubungan yang lebih kompleks dan khusus. Di dunia barat sudah lama dikenal prinsip logika Aristoteles. Prinsip logika ini diintegrasikan dengan prinsip ajaran neoplatonis dan agustinian. Prinsip aristotelian mengenai nova logica mendapatkan koreksi dan tambahan pada ajaran neoplatonis. Metode-metode itu diinterpretasikan dengan cara dan gaya lebih baru yang dikembangkan oleh Thomas Aquinas
B. Rumusan masalah
1.
Apa pengertian dari Skolastik?
2.
Bagaimana Sejarah Filsafat Skolastik?
3.
Bagaimana Perkembangan Filsafat Skolastik?
4.
Bagaimana Masa Awal Skolastik?
5.
Bagaimana Masa Kejayaan Skolastik?
6.
Bagaimana Masa Akhir Skolastik?
C. Tujuan
1.
Mengetahui Pengertian Skolastik
2.
Mengerti sejarah Filsafat Skolastik
3.
Mengetahui Perkembangan Filsafat Skolastik
4.
Mengetahui Masa Awal Skolastik
5.
Mengetahu Masa Kejayaan Skolastik
6.
Mengetahui Masa Akhir Skolatik
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Skolastik
Istilah skolastik adalah kata sifat
yang berasal dari kata school, yang berarti sekolah.
Atau dari kata schuler yang mempunyai arti kurang lebih sama
yaitu ajaran atau sekolahan. Yang demikian
karena sekolah yang diadakan oleh Karel Agung yang mengajarkan apa yang
diistilahkan sebagai artes liberales (seni bebas) meliputi
mata pelajaran gramatika, geometria, arithmatika, astronomi, musika,
dan dialektika. Dialektika ini sekarang disebut logika dan kemudian
meliputi seluruh filsafat.[1] Jadi,
skolastik berarti aliran atau yang berkaitan dengan sekolah.
Kata
skolastik menjadi istilah bagi filsafat pada abad 9 s/d 15 yang
mempunyai corak khusus yaitu filsafat yang dipengaruhi agama.[2] Filsafat
skolastik merupakan corak khas dari sejarah filsafat abad pertengahan. Filsafat
skolastik adalah filsafat yang mengabdi pada teologi atau filsafat yang
rasional memecahkan persoalan-persoalan mengenai berpikir, sifat ada,
kejasmanian, kerohanian, baik buruk.
Sebutan skolastik mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan abad pertengahan
diusahakan oleh sekolah-sekolah, dan bahwa ilmu itu terikat pada tuntutan
pengajaran di sekolah-sekolah itu. Pada waktu itu rencana pelajaran
sekolah-sekolah meliputi suatu studi duniawi yang terdiri dari 7 kesenian bebas
(artes liberalis) yang dibagi menjadi 2 bagian, yaitu : Trivium, 3
mata pelajaran bahasa, yang meliputi Tata Bahasa, Retorika dan Dialektika (yaitu
semacam tehnik berdiskusi), yang dimaksud sebagai Pendidikan Umum. Dan Quadravium,
4 mata pelajaran matematika, yang meliputi Ilmu Hitung, Ilmu
Ukur, Ilmu Perbintangan dan Musik, yang dimaksud bagi mereka yang ingin belajar lebih
tinggi(teologia) atau ingin menjadi sarjana. Dari sini jelas, bahwa
dialektika termasuk pendidikan yang lebih rendah (trivium), sebagai
persiapan bagi quadrivium, yang dipandang lebih tinggi kedudukannya
dari pada mata pelajaran bahasa. Akan tetapi di sepanjang perjalanan abad
keabad, keadaanpun berubah. Buku-buku
pegangan dialektika lama-kelamaan diganti dengan karangan-karangan Aristoteles mengenai logika, sedang dalam perkembangannya
yang lebih lanjut lagi pelajaran Artes Liberales makin diubah
menjadi studi filsafat, terutama filsafat Aristoteles. Demikianlah filsafat
menjadi penting.
B. Sejarah Filsafat
Skolastik
Abad pertengahan masa skolastik adalah gambaran seutuhnya peta pemikiran
filsafat pada abad pertengahan. Abad pertengahan seringkali di tuduh sebagai
masa suram (abad gelap) dunia filsafat, dengan dalih kuatnya dominasi dan
otoritas agama dalam pemikiran filsafat masa itu. Filsafat dianggap seolah-olah
tidak lebih sebagai instrument dalam upaya menjustifikasi teologi agama.
Wilayah kekuasaan romawi baik di timur maupun di barat, dikuasai hampir
seluruhnya oleh “dinasti” Kristen (katolik). Kolaborasi antara penguasa dengan
gereja menjadi suatu kekuatan super power dalam struktur masyarakat. Dalam
dunia Kristen inilah filsafat abad pertengahan tumbuh berkembang, dan ini yang
meniscayakan adanya corak filsafat yang berasaskan teologi.
Filsafat abad pertengahan di barat (dunia Kristen), antara abad 1 s.d awal abad 16 M, seringkali dibagi dalam dua masa, yakni masa Patristic dan masa Skolastik, yang berpusat di Athena, Alexandria dan Byzantium. Kedua masa itu corak filsafatnya tetap di cirikan oleh kuatnya Kredo Iman (dogma agama) yang lebih bernuansa metafisis ketimbang rasionalitas/nalariah. Bangunan etistemonologinya bersumber dari filsafat Platonian dan Stoisisme.
Filsafat abad pertengahan di barat (dunia Kristen), antara abad 1 s.d awal abad 16 M, seringkali dibagi dalam dua masa, yakni masa Patristic dan masa Skolastik, yang berpusat di Athena, Alexandria dan Byzantium. Kedua masa itu corak filsafatnya tetap di cirikan oleh kuatnya Kredo Iman (dogma agama) yang lebih bernuansa metafisis ketimbang rasionalitas/nalariah. Bangunan etistemonologinya bersumber dari filsafat Platonian dan Stoisisme.
Sejak abad ke-5 hingga ke-8 Masehi,
pemikiran filsafat patristik mulai merosot, terlebih lagi pada abad ke-6 dan
ke-7 dikatakan abad kacau. Hal ini disebabkan pada saat itu terjadi serangan
terhadap Romawi sehingga kerajaan Romawi beserta peradabannya ikut runtuh yang
telah dibangun selama berabad-abad.
Baru pada abad ke-8 Masehi,
kekuasaan berada di bawah Karel Agung (742 – 814) dapat memberikan suasana
ketenangan dalam bidang politik, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan, termsuk
kehidupan manusia serta pemikiran filsafat menampakkan mulai adanya
kebangkitan. Kebangkitan inilah yang merupakan kecemerlangan abad pertengahan. Pada
mulanya skolastik ini timbul pertama kalinya di biara Italia Selatan dan
pada akhirnya sampai berpengaruh ke Jerman dan Belanda. Kurikulum pengajaranya
meliputi studi duniawi, tata bahasa, retorika, dialektika, ilmu hitung, ilmu
ukur, ilmu ukur, ilmu perbintangan dan musik.
Sutardjo Wiramihardja mengatakan
bahwa zaman ini berhubungan dengan terjadinya perpindahan penduduk, yaitu
perpindahan bangsa Hun dari Asia ke Eropa sehingga bangsa Jerman pindah
melewati perbatasan kekaisaran Romawi yang secara politik sudah mengalami
kemerosotan[3].
Walaupun demikian masa ini merupakan kebangkitan pemikiran abad pertengahan
yang mana sebelumnya merosot karena kuatnya dominasi golongan Gereja[4].
Filsafat Barat abad pertengahan
(476-1492 M) juga dapat dikatakan sebagai abad gelap. Berdasarkan pada
pendekatan sejarah gereja, saat itu tindakan gereja sangat membelenggu
kehidupan manusia. Manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk mengembangkan
potensi yang terdapat dalam dirinya. Para ahli pikir saat itu juga tidak
memiliki kebebasan berpikir. Apalagi terdapat pemikiran-pemikiran yang
bertentangan dengan agama ajaran gereja. Siapapun orang yang mengemukakannya
akan mendapat hukuman berat. Pihak gereja melarang diadakannya penyelidikan-penyelidikan
berdasarkan rasio terhadap agama. Karena itu kajian terhadap agama (teologi)
yang tidak berdasarkan pada ketentuan gereja akan mendapat larangan yang ketat.
Yang berhak mengadakan penyelidikan terhadap agama hanyalah pihak gereja. Kendati
demikian, ada juga yang melanggar peraturan tersebut dan mereka dianggap orang
murtad dan kemudian diadakan pengejaran (inkuisisi). Pengejaran terhadap
orang-orang murtad ini mencapai puncaknya pada saat Paus Innocentius III
diakhir abad XII, dan yang paling berhasil di Spanyol.[5]
C.
Perkembangan
Filsafat Skolastik
Istilah skolastik adalah kata sifat yang berasal
dari kata School, yang berarti sekolah. Jadi skolastik berarti aliran atau yang
berkaitan dengan sekolah. Perkataan skolastik merupakan corak khas dari sejarah
filsafat abad pertengahan.
Terdapat beberapa pengertian dari corak khas skolastik, yaitu:
Terdapat beberapa pengertian dari corak khas skolastik, yaitu:
a. Filsafat Skolastik adalah filsafat yang mempunyai
corak semata-mata agama. Skolastik ini sebagai bagian dari kebudayaan abad
pertengahan yang religius.
b. Filsafat Skolastik
adalah filsafat yang mengabdi pada teologi atau filsafat yang rasional,
memecahkan persoalan-persoalan mengenai berpikir, sifat ada, kejasmanian,
kerohanian, baik buruk. Dari rumusan tersebut kemudian muncul istilah Skolastik
Yahudi, Skolastik Arab, dan lain-lain.
c. Filsafat Skolastik
adalah sistem yang termasuk jajaran pengetahuan alam kodrat, akan dimasukkan ke
dalam bentuk sintesis yang lebih tinggi antara kepercayaan dan akal.
d. Filsafat Skolastik
adalah filsafat Nasrani karena banyak dipengaruhi oleh ajaran Gereja
Filsafat skolastik ini
dapat berkembang dan tumbuh karena beberapa faktor, yaitu:
a. Faktor Religius
Faktor religius dapat
mempengaruhi corak pemikiran filsafatnya. Yang dimaksud dengan faktor religius
adalah keadaan lingkungan saat itu yang berkehidupan religius. Mereka beranggapan
bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu perjuangan ke tanah suci Yerussalem,
dunia ini hanyalah negeri asing dan sebagai tempat pembuangan limbah air mata
saja (tempat kesedihan). Mereka meyakini bahwa manusia tidak bisa sampai ke
tanah airnya (surga) dengan kemampuannya sendiri, sehingga harus ditolong.
Karena manusia itu memiliki kelemahan yang dilakukan (diwariskan) oleh Adam,
mereka juga berkeyakinan bahwa Isa anak Tuhan berperan sebagai pembebas dan
pemberi bahagia. Ia juga memberi pengampunan sekaligus menolongnya. Maka, hanya
dengan jalan pengampunan inilah manusia dapat tertolong agar dapat mencapai
tanah airnya (surga). Anggapan dan keyakinan inilah yang dijadikan dasar
pemikiran filsafatnya.
b. Faktor Pengetahuan
Pada saat itu telah banyak
didirikan lembaga pengajaran yang diupayakan oleh biara-biara, gereja, ataupun
dari keluarga istana. Kepustakaannya diambil dari para penulis Latin, Arab
(Islam) dan Yunani.
D. Masa Awal Skolastik
Sejak abad V
hingga VIII Masehi, pemikiran filsafat patristik mulai merosot terlebih lagi
pada abad 6 dan 7 di katakan itu terjadi serangan terhadap romawi sehingga
kerajaan romawi beserta peradabannya ikut runtuh yang telah dibangun
berabad-abad.
Masa
ini merupakan kebangkitan pemikiran di abad pertengahan setelah terjadi
kemerosotan, pemikiran filsafat pada masa sebelumnya yang disebabkan kuatnya
dominasi golongan gereja.
Pada
saat itu muncul ilmu pengetahuan yang di kembangkan di sekolah-sekolah. Pada
mulanya skolastik timbul pertama kalinya di biara Italia Selatan dan akhirnya
berpengaruh ke daerah-daerah lain.
Pada
sekolah-sekolah saat itu diterapkan kurikulum ajaran yang meliputi tata bahasa,
retorika, dialektika (seni berdiskusi), ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu
perbintangan dan musik. Pada masa ini persoalan pemikiran yang paling menonjol
ialah hubungan antara rasio dengan wahyu (agama)
Pada abad ke-9 sampai abad ke-15, skolastik
menjadi istilah bagi filsafat yang mempunyai corak khusus, yaitu filsafat yang
dipengaruhi agama.[6]
Sampai pertengahan abad ke-12, orang-orang Barat belum pernah mengenal filsafat
Aristoteles secara keseluruhan. Scholastik Islam-lah yang membawakan
perkembangan filsafat di Barat, terutama berkat tulisan dari para ahli fikir
Islam (filsuf), seperti Ibnu Rusyd. Peran filsuf Islam ini besar sekali, tidak
hanya dalam pemikiran filsafat, tetapi juga memberi sumbangan yang tidak kecil
bagi bangsa Eropa, yaitu dalam bidang ilmu pengetahuan. Akan tetapi, setelah
pemikiran Islam masuk ke Eropa, banyak buku filsafat dan peranan para filsuf
Islam atas kemajuan dan peradaban Barat sengaja disembunyikan karena mereka
(Barat) tidak mengakui secara terus terang jasa para filsuf Islam dalam
mengantarkan kemodernan Barat.[7]
Zaman skolastik berhubungan dengan
terjadinya perpindahan penduduk, yaitu perpindahan bangsa Hun dari Asia ke
Eropa, sehingga bangsa Jerman pindah melewati perbatasan kekaisaran Romawi yang
secara politik sudah mengalami kemerosotan.[8]
Meskipun demikian, masa ini merupakan kebangkitan pemikiran abad pertengahan
yang sebelumnya merosot karena kuatnya dominasi golongan Gereja.[9]
Karena situasi yang ricuh, tidak
banyak pemikiran filsafat yang dapat ditampilkan pada masa tersebut. Ada
beberapa tokoh yang harus diperhatikan dalam memahami filsafat masa itu, antara
lain sebagai berikut.[10]
1.
Augustinus (354-430)
Menurutnya, di balik keteraturan dan
ketertiban alam semesta ini pasti ada yang mengendalikannya, yaitu Tuhan.
Kebenaran mutlak ada pada ajaran agama.
2.
Boethius (480-524 M)
Pada usia 44 tahun, Boethius mendapat
hukuman mati dengan tuduhan berkomplot. Ia dianggap sebagai filsuf akhir Romawi
dan filsuf pertama Skolastik. Jasanya adalah menerjemahkan logika Aristoteles
ke dalam bahasa Latin dan menulis beberapa traktat logika Aristoteles. Ia
adalah seorang guru logika pada abad pertengahan dan mengarang beberapa traktat
teologi yang dipelajari sepanjang abad pertengahan.
3.
Kaisar Karel Agung (742-814 M)
Pada masa pemerintahannya, yaitu awal abad
ke-9, Kaisar Karel Agung berhasil mencapai stabilitas politik yang besar. Hal
ini menyebabkan perkembangan pemikiran kultural berjalan pesat. Pendidikan yang
dibangunnya terdiri atas tiga jenis, yaitu pendidikan yang digabungkan dengaan
biara, pendidikan yang ditanggung keuskupan, dan pendidikan yang dibangun raja
atau kerabat kerajaan.[11]
4.
Santo Anselmus (1033-1109)
Ciri khas filsafat abad pertengahan ini
terletak pada rumusan Santo Anselmus, yaitu credo ut intelligam (saya
percaya saya paham). Filsafat ini jelas berbeda dengan filsafat rasional yang lebih mendahulukan pengertian
daripada iman.
5.
Peter Abelardus (1079-1142)[12]
Ia dilahirkan di Le Pallet, Prancis. Ia
mempunyai kepribadian yang keras dan pandangannya sangat tajam sehingga sering
kali bertengkar dengan ahli pikir dan pejabat gereja. Ia termasuk orang
konseptualisme dan sarjana terkenal dalam sastra romantik, sekaligus sebagai
rasionalistik, artinya peranan akal dapat menundukkan kekuatan imna. Iman harus
mau didahului akal. Yang harus dipercaya adalah apa yang telah di setujui atau
dapat diterima oleh akal.
Berbeda dengan Anselmus yang mengatakan
bahwa berfikir harus sejalan dengan iman, Abelardus memberikan alasan bahwa
berfikir itu berada di luar iman (di luar kepercayaan). Karena itu berfikir
merupakan sesuatu yang berdiri sendiri. Hal ini sesuai dengan metode dialektika
yang tanpa ragu-ragu ditunjukkan dalam teologi, yaitu bahwa teologi harus
memberikan tempat bagi semua bukti-bukti. Dengan demikian, dalam teologi itu
iman hampir kehilangan tempat. Ia mencontohkan, seperti ajaran Trinitas juga
berdasarkan pada bukti-bukti, termasuk bukti dalam wahyu Tuhan.
Eropa membuka kembali kebebasan berpikir
yang dipelopori oleh Peter Albelardus. Ia menginginkan kebebasan berpikir
dengan membalikkan diktum Augustinus-Anselmus, credo ut intelligam dan
merumuskan pandangannya menjadi intelligo ut credom (saya paham supaya
saya percaya). Peter Albelardus memberikan status yang lebih tinggi pada
penalaran daripada iman.[13]
E. Masa Kejayaan Skolastik
(1200-1300 M)
Pada masa skolastik awal, filsafat bertumpu di
alam pikiran dan karya-karya Kristiani. Akan tetapi, sejak pertengahan abad
ke-12, karya-karya non-Kristiani mulai muncul dan filsuf Islam mulai
berpengaruh. Kejayaan Skolastik berlangsung dari abad 12-13 M, yang disebut
masa berbunga, karena bersamaan dengan itu, muncul beberapa
universita-universitas dan ordo-ordo yang menyelenggarakan pendidikan ilmu
pengetahuan. Sama dengan abad pertengahan, pada zaman keemasan skolastik ini,
filsafat di pelajari dalam hubungannya dengan teologi. Akan tetapi, tidak
berarti bahwa wacana filsafat hilang.
Dengan demikian, abad ke-13 menjadi abad
kejayaan skolastik. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kejayaan skolastik,
antara lain:
1.
Mulai abad ke-12, terdapat hubungan-hubungan baru dengan dunia pemikiran
Yunani dan dunia pemikiran Arab, yaitu dengan peradaban Yunani dari Italia
Selatan dan Sisilia, serta dengan kerajaan Bizantium pada satu pihak, dan
peradaban Arab yang ada di Spanyol pada pihak lain. Melalui karya-karya orang
Arab dan Yahudi, Eropa Barat mulai mengenal karya-karya Aristoteles yang semula
kurang dikenal. Selain melalui karya orang-orang Arab, dan tulisan-tulisan
Aristoteles dikenal melalui karya para pemikir gereja Timur, yang pada zaman
itu dikenal juga.
2.
Timbulnya universitas-universitas. Didirikannya Universitas Almameter di
Paris merupakan gabungan dari beberapa sekolah. Universitas inilah yang menjadi
awal (embrio) berdirinya universitas di Paris, Oxford, Mont Pellier, Cambridge,
dan lainnya.[14]
Pada abad pertengahan, umumnya universitas terdiri atas empat fakultas, yaitu
kedokteran, hukum, sastra (fakultas Atrium) dan teologi.[15]
3.
Timbulnya ordo-ordo baru, yaitu ordo Fransiskan (didirikan 1209 M) dan ordo
Dominikan (didirikan 1215 M).[16]
Ordo-ordo ini muncul karena banyaknya perhatian orang terhadap ilmu
pengetahuan, sehingga menimbulkan dorongan yang kuat untuk memberikan suasana
yang semarak pada abad ke-13. Hal ini berpengaruh terhadap kehidupan kerohanian
yang kebanyakan tokohnya memegang peranan di bidang filsafat dan teologi,
seperti Albertus de Grote, Thomas Aquinas, Binaventura, J.D. Scotus, Wiliam
Ocham.[17]
Tokoh-tokoh
pada masa keemasan skolastik, diantaranya sebagai berikut.
1.
Albertus Magnus (1203-1280 M)
Di
samping sebagai biarawan, Albert Magnus juga dikenal sebagai cendikiawan abad
pertengahan. Ia lahir dengan nama Albertus Von Bollstadt, yang juga dikenal
sebagai doktor magnus, kemudian bernama Albertus Magnus (Albert the
Great). Ia mempunyai kepandaian luar biasa. Di Universitas Padua, ia
belajar artes liberales, belajar teologi di Bologna, dan masuk ordo
Dominikan tahun 1223 M, kemudian masuk ke Koln dan menjadi dosen filsafat dan
teologi. Terakhir, dia diangkat sebagai uskup agung. Pola pemikirannya meniru
Ibnu Rusyd dalam menulis tentang Aristoteles. Dalam bidang ilmu pengetahuan,
Albertus Magnus mengadakan penelitian dalam ilmu biologi dan ilmu kimia.[18]
2.
Thomas Aquinas (1225-1274 M)
Puncak
kejayaan masa skolastik dicapai melalui
pemikiran Thomas Aquinas (1225-1274 M). Lahir di Roccasecca, Napoli, Italia
1225 M dari kedua orangtua bangsawan.[19] Nama sebenarnya adalah
Santo Thomas Aquinas, yang artinya Thomas yang suci dari Aquinas. Disamping
sebagai ahli pikir, ia juga seorang dokter gereja bangsa Italia. Ia merupakan
tokoh terbesar Skolastisisme, salah seorang suci gereja katolik Romawi dan
pendiri aliran yang dinyatakan menjadi filsafat resmi gereja katolik. Tahun
1245 belajar pada Albertus Magnus. Pada tahun 1250 ia menjadi guru besar dalam
ilmu agama di Perancis dan Tahun 1259 menjadi guru besar dan penasehat istana.
Ia
mendapat gelar “The Angelic Doctor”, karena banyak pemikirannya,
terutama dalam “Summa Theologia” menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari gereja. Menurutnya, pengetahuan berbeda dengan kepercayaan. Pengetahuan
diperoleh dari indra dan diolah akal. Akan tetapi, akal tidak mampu mencapai
realitas tertinggi yang ada pada daerah adikodrati. Ini merupakan masalah
keagamaan yang harus diselesaikan dengan kepercayaan. Dalil-dalil akal atau
filsafat harus dikembangkan dalam upaya memperkuat dalil-dalil agama dan
mengabdi kepada Tuhan. Aquinas merupakan teolog skolastik terbesar. Ia adalah
murid Albertus Magnus. Albertus mengajarkan kepadanya filsafat Aristoteles
sehingga ia sangat mahir dalam filsafat itu.
Pandangan-pandangan
filsafat Aristoteles diselaraskannya dengan pandangan-pandangna Alkitab
sehingga filsafat Aristoteles tidak menjadi unsur yang berbahaya bagi iman
Kristen. Pada tahun 1879, ajaran-ajarannya dijadikan sebagai ajaran yang sah
dalam Gereja Katolik Roma oleh Paus Leo XIII. Menurut Thomas, Tuhan adalah “ada
yang tidak terbatas” (ipsum esse subsistens). Tuhan adalah “dzat yang
tertinggi”, yang mempunyai keadaan yang paling tinggi. Dia adalah penggerak
yang tidak bergerak. Tampak sekali pengaruh filsafat Aristoteles dalam
pandangannya. Dunia dan hidup manusia terbagi atas dua tingkat, yaitu tingkat
adikodrati dan kodrati, tingkat atas dan bawah. Tingkat bawah (kodrati) hanya
dapat dipahami dengan mempergunakan akal. Hidup kodrati ini kurang sempurna dan
bisa menjadi sempurna jika disempurnakan oleh hidup rahmat (adikodrati).
“Tabiat kodrati bukan ditiadakan, melainkan disempurnakan oleh rahmat.”[20]
F. Masa Akhir Skolastik
Masa skolastik
akhir ditandai dengan kemalasan berpikir filsafati sehingga menyebabkan stagnasi
(kemandegan) pemikiran filsafat Scholastik Kristen. Tokoh yang terkenal
pada masa ini, antara lain sebagai berikut.
1.
Nicolous Cusanus (1401-1464 M)
Dari
filsafatnya, ia beranggapan bahwa Tuhan adalah objek sentral bagi intuisi
manusia. Menurutnya, dengan intuisi, manusia dapat mencapai yang terhingga,
objek tertinggi filsafat. Tidak ada hal-hal yang berlawanan. Dalam diri Tuhan,
semua hal yang berlawanan mencapai kesatuan. Semua makhluk berasal dari Tuhan pencipta,
dan segalanya akan kembali pada pencipta-Nya.[21]
Nicolous Cusanus merupakan tokoh pemikir paling akhir pada masa skolastik.
Menurut pendapatnya, ada tiga cara untuk mengenal, yaitu indra, akal dan
intuisi. Dengan indra, kita mendapat pengetahuan tentang benda berjasad,
yang sifatnya tidak sempurna. Dengan akal, kita mendapatkan bentuk-bentuk
pengertian yang abstrak berdasarkan sajian atau tangkapan indra. Dalam intuisi,
kita mendapatkan pengetahuan yang lebih tinggi. Pemikiran Nicolaus ini sebagai
upaya mempersatukan seluruh pemikiran abad pertengahan, yang dibuat ke suatu
sintesis yang lebih luas. Sintesis ini mengarah ke masa depan, dari
pemikirannya ini tersirat suatu pemikiran para humanis.
Pada
tahap akhir masa skolastik terdapat
filsuf yang berbeda dengan Thomas Aquinas, yaitu Willian Occam.
2.
William Ockham (1285-1349 M)
William Ockham adalah
seorang pastur ordo Fransiscus berkebangsaan Inggris dan filusuf, dari Ockham
desa kecil di Surey dekat East Horsley. William mengabdikan diri pada hidup
yang minimalis. Seorang perintis nominalisme, ia terkadang di anggap sebagai
bapak epistemology modern dan filsafat modern umum, berkat pendapatnya yang
didukung argument kuat, bahwa hanya individu yang ada, bukan universa, esensi,
atau bentuk supra-individual, dan bahwa universal adalah hasil abstraktif dari
individu oleh pikiran manusia dan tidak memiliki wujud di luar mental. William
juga dipandang sebagai salah satu ahli logika terbesar sepanjang masa. Ia merupakan
ahli pikir Inggris yang beraliran Skolastis.
Tulisan-tulisannya
menyerang kekuasaan gereja dan teologi Kristen, sehingga ia tidak begitu
disukai dan kemudian dipenjarakan oleh Paus. Akan tetapi, ia berhasil
meloloskan diri dan meminta suaka politik kepada Kaisar Louis IV, sehingga ia
terlibat konflik berkepanjangan dengan gereja dan negara. Willian Occam merasa
membela agama dengan menceraikan ilmu dari teologi. Tuhan harus diterima atas
dasar keimanan, bukan dengan pembuktian, karena kepercayaan teologis tidak
dapat didemonstrasikan.
Menurut pendapatnya, pikiran manusia hanya dapat
mengetahui barang-barang atau kejadian-kejadian individual. Konsep-konsep atau
kesimpulan-kesimpulan umum tentang alam hanya merupakan abstraksi buatan tanpa
kenyataan. Pemikiran yang demikian ini, dapat dilalui hanya dengan intuisi,
bukan lewat logika. Di samping itu, ia membantah anggapan skolastik bahwa
logika dapat membuktikan doktrin teologis.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Istilah
skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti
sekolah. Jadi, skolastik berarti aliran atau yang berkaitan dengan sekolah.
Perkataan skolastik merupakan corak khas dari sejarah filsafat abad
pertengahan.
Filsafat
skolastik adalah filsafat yang mengabdi pada teologi atau filsafat yang
rasional memecahkan persoalan-persoalan mengenai berpikir, sifat ada,
kejasmanian, kerohanian, baik buruk.
Ciri khas
filsafat Skolastik ini terletak pada rumusan Santo Anselmus (1033—1109M), yaitu
credo utintelligam (saya percaya agar saya paham). Filsafat ini jelas
berbeda dengan sifat filsafat rasional yang lebih mendahulukan pengertian dari
pada iman.
B. Saran
Dengan
selesainya penulisan ini penulis menyarankan kepada para pembaca bahwa filsafat
merupakan bidang pengetahuan tersendiri yang berbeda dengan pengetahuan yang
lain. Oleh karena itu, filsafat harus di pelajari karena filsafat mengajarkan
kepada kita tentang kesadaran, kemampuan, dan kemauan manusia sesuai dengan
kedudukannya sebagai makhluk individu, sosial dan makhluk tuhan untuk
diaplikasikan dalam kehidupan.
Demikianlah
makalah berjudul “Filsafat Skolastik” ini kami buat berdasarkan
sumber-sumber yang ada. Kami juga menyadari, masih ada banyak kekurangan di
dalam penyusunan makalah ini. Sehingga perlulah bagi kami, dari para pembaca
untuk memberikan saran yang membantu supaya makalah ini mendekati lebih baik.
Atas perhatian Anda semuanya, kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim A. Abdul Drs. MA, Saebani B. Ahmad Drs.
M.Si, 2008, Filsafat Umum, Bandung: CV Pustaka Setia
Burhanudin Salam, Drs. 2005. Pengantar Filsafat
Jakarta: Bumi Aksara
Syadali, Ahmad. 2004 Filsafat Umum.
Bandung: CV. Pustaka Setia
Asmoro, Ahmad 1994, Filsafat Umum, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada
Tapsir, Ahmad. 2009, Filsafat Umum,
Bandung: Rosda Karya
Maksum,
Ali. 2016, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Ahmad Kamaluddin, Undang. 2013, Filsafat
Manusia, Bandung: CV. Pustaka Setia
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat
Barat 1, (Yogyakarta: Kanisius
Sadali, Ahmad, Mudzakir. 1999. Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia
http://www.scribd.com/doc/23767536/makalah-filsafat
http://mukhlislamlo.blogspot.com/2010/04/filsafat-skolastik-oleh-mukhlisuddin-mz.html
http://www.hendria.com/2010/03/sejarah-filsafat-eropa.html
[2] Selanjutnya dilihat dari sudut pandang pengaruh
agama, skolastik ini dibagi dua yaitu Scholastik Islam dan Scholastik Kristen,
namun dalam makalah ini penulis memfokuskan pembicaraan pada Scholastik Kristen
(Barat). Lebih jelas bisa dilihat; Ahmad Sadali dan Mudzakir, Filsafat…, h.
81-91.
[3] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum,
(Bandung: Pustaka Setia, 2008), Cet.I, h. 73.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar