Mata Kuliah
|
Dosen
Pengampu
|
Fiqh B
|
Dr. H. M.
Quzwini, M.Ag
|
HUKUM PIDANA ISLAM
Oleh:
Kelompok 1
NAMA
|
|
NPM
|
Abdul Hamid
|
:
|
18.12.4418
|
Ari Maulana
|
:
|
18.12.4439
|
Aulia Sari
|
:
|
18.12.4442
|
Akbar Rifa’i
|
:
|
18.12.4432
|
Muhammad Mirwan
|
:
|
18.12.4536
|
Muhammad Badali
|
:
|
18.12.4521
|
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM MARTAPURA
FAKULTAS TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat Allah SWT, karena dengan taufik dan hidayah-Nya jualah kami mampu
menyelesaikan makalah Fiqh B yang berjudul “Hukum Pidana Islam”.Sholawat dan
salam senantiasa kita curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta
seluruh keluarga beliau, sahabat-sahabat beliau, dan para pemgikut beliau dari
dulu, sekarang dan masa akan datang.
Di dalam
penyajian makalah ini, kami berusaha menyajikan dalam bentuk yang sederhana,
agar mudah dalam menelaah dan memahaminya. Kami berharap dapat bermanfaat tidak
hanya untuk penyusun pada khususnya, tetapi pembaca pada umumnya.
Kami menyadari
keterbatasan yang terdapat di dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu,
kami berharap kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak, terutama
dari bapak Dr. H. M. Quzwini, M.Ag, sebagai dosen pembimbing mata kuliah Fiqh B
demi menyempurnakan isi, cara penulisan, dll.
Akhir kata,
kami ucapkan terimakasih kepada para penerbit dan pengarang buku, serta situs
internet dalam mengikat pembahasan yang bersentuhan langsung dengan topik yang
kami susun.
Martapura,
05-November-2019
Penulis :
Kelompok 1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang............................................................................ 1
2.
Tujuan
Penulisan......................................................................... 1
3.
Rumusan
Masalah....................................................................... 1
B.
LANDASAN
TEORITIS
1.
Pengertian................................................................................... 2
2.
Dasar
Hukum.............................................................................. 4
C.
MATERI
POKOK
1.
Jinayah...................................................................................... 11
2.
Al-‘Uqubat................................................................................ 16
3.
Hudud........................................................................................ 19
4.
Qishas........................................................................................ 20
5.
Diyat.......................................................................................... 23
6.
Pertanggungjawaban
Pidana..................................................... 26
7.
Hapusnya
Pertanggungjawaban Pidana.................................... 27
8.
Pembatalan
Hukum................................................................... 28
9.
Ta’zir......................................................................................... 29
D.
PENUTUP............................................................................................... 2
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Hukum pidana Islam berasal dari
peraturan Allah SWT. yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kedudukan
hukum pidana Islam sangat mendukung eksistensi Islam di tengah kemajemukan
masyarakat dalam pergaulan dunia internasional. Terlebih lagi jika hukum pidana
Islam mampu diterapkan dalam kehidupan masyarakat, khususnya di negara yang
penduduknya mayoritas muslim atau sekurang-kurangnya materi hukum ini menjadi
bagian dari hukum pidana nasional Indonesia.
Tujuan pemidanaan adalah menimbulkan
efek jera kepada pelaku jarimah, sehingga tidak mengulangi perbuatannya dan
orang lain tidak menirunya.
Pada karya ilmiah ini, kami akan
membahas lebih mendalam tentang bagaimana Hukum Pidana Islam. Selain itu karya
ilmiah ini juga disusun untuk mengetahui bagaimana proses hukum pidana itu sendiri.
2.
Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui
Pengertian Jinayah
2. Mengetahui
apa itu Al-‘Uqubat
3. Mengetahui
apa itu Hudud
4. Mengetahui
apa itu Qishas
5. Mengetahui
apa itu Diyat
6. Mengetahui
bagaimana Pertanggungjawaban Pidana
7. Mengetahui
Mengapa Terjadi Penghapusan Pertanggungjawaban Pidana
8. Mengetahui
apa ituTa’zir
3.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian dari Jinayah?
2. Apa
itu Al-‘Uqubat?
3. Apa
itu Hudud?
4. Apa
itu Qishas?
5. Apa
itu Diyat?
6. Bagaimana
Pertanggungjawaban Pidana?
7. Mengapa
Terjadi Penghapusan Pertanggungjawaban Pidana?
8. Apa
itu Ta’zir?
B.
LANDASAN TEORITIS
1.
PENGERTIAN
Konsep
jinayah berasal dari kata jana, yajni yakni berarti kejahatan,
pidana, atau kriminal. Jinayah adalah perbuatan yang diharamkan atau
dilarang karena dapat menimbulkan kerugian atau kerusakan agama, jiwa, akal,dan
harta benda. Adapun hukum pidana islam atau jinayah adalah hukum pidana
yang ada dalam lingkup hukum islam, terjemahan dari konsep ‘uqubah, jarimah,
dan jinayah.
Istilah
pidana dalam kamus umum bahasa Indonesia berarti kejahatan atau
kriminal, seperti pembunuhan, perampokan, korupsi, dan lainnya. Menurut
Moeljanto, hikum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan pidana
yang berlaku di negara tertentu.[1]
Dalam
mempelajari Fiqih Jinayah, ada dua istilah penting yang terlebih dulu
harus dipahami sebelum mempelajari materi selanjutnya. Pertama adalah istilah jinayah
itu sendiridan kedua adalah jarimah. Jinayah artinya
perbuatan dosa, perbuatan salah atau jahat. Jinayah adalah masdar
(kata asal) dari kata kerja (fi’il madhi) janaa yang
mengandung arti suatu kerja yang diperuntukkan bagi satuan laki-laki yang telah
berbuat dosa atau salah. Pelaku kejahatan itu sendiri disebut dengan jaani
yang merupakan bentuk mufrod bagi satuan laki-laki atau bentuk mufrad
mudzakkar sebagai pembuat kejahatan atau isim fa’il. Adapun sebutan
pelaku kejahatan wanita adalah jaaniah, yang artinya seorang
wanita yang berbuat dosa. Orang yang menjadi sasaran atau objek perbuatan si jaani
atau si jaaniah atau mereka yang terkena dampak dari perbuatan si
pelaku dinamai mujnaa alaih atau korban.[2]
Dr.
Abdul Kadir Audah dalam kitabnya At-Tasyri Al-Jina’i Al-Islamiy menjelaskan
arti kata jinayah sebagai berikut:
الجناية لغة : اسم لما يجنيه المرء من شر ما
اكتسبه. و اصطلاحا : اسم لفعل محرم شرعا سواء وقع الفعل على نفس أو مال أو غير ذلك
Artinya: “Jinayah menurut bahasa merupakan nama bagi suatu perbuatan
jelek seseorang. Adapun menurut istilah adalah nama bagi suatu perbuatan yang
diharamkan Syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta benda, maupun
selain jiwa dan harta benda.”
Jadi, jinayah adalah
setiap tindakan negatif yang menimpa jiwa manusia atau anggota badannya,
misalnya pembunuhan, perampokan, dan lainnya.[3]
Menurut aliran (mazhab)
Hanafi, ada pemisahan dalam pengertian jinayah ini. Kata jinayah hanya diperuntukkan bagi semua perbuatan yang
dilakukan manusia dengan objek anggota badan dan jiwa saja, seperti melukai
atau membunuh. Adapun perbuatan dosa atau perbuatan salah yang berkaitan dengan
objek atau sasaran atau sasaran barang atau harta benda, dinamakan ghasab.
Jadi, pembahasan tentang jinayah dikhususkan bagi kejahatan terhadap
jiwa dan anggota badan, sehingga masalah yang terkait dengan kejahatan terhadap
benda diatur pada bab tersendiri. Adapun aliran atau mazhab lain, seperti
aliran Asy-Syafi’i, Maliki, dan Ibnu Hambal, tidak mengadakan pemisahan antara
perbuatan jahat terhadap jiwa dan anggota badan dengan kejahatan terhadap harta
benda (pencurian dan kejahatan terhadap harta benda lainnya). Oleh karena itu,
pembahasan keduanya (kejahatan terhadap anggota badan, jiwa dan harta benda)
diperoleh dalam jinayah.[4]
Istilah yang kedua
adalah jarimah. Pada dasarnya, kata jarimah mengandung arti
perbuatan buruk, jelek atau dosa. Jadi, pengertian jarimah secara
harfiah sama halnya dengan pengertian jinayah.
Adapun pengertian jarimah
secara terminologi hukum Islam atau Fiqih adalah sebagai berikut.
وَالْجَرَائِمُ : مَحْظُوْرَاتٌ بِالشَّرْ عِ , زَجَرَ اللَّهُ تَعَالَى
عَنْهَابِحَدٍ أَوْ تَعْزِيْرُ .
Jaraim (tindakan
kriminal) adalah semua tindakan yang diharamkan oleh syariat. Allah ta’ala
mencegah terjadinya tindakan kriminal dengan menjatuhkan hudud atau ta’zir
kepada pelakunya.[5]
Jarimah biasa dipakai sebagai
perbuatan dosa, baik berupa bentuk, macam, atau sifat dari perbuatan dosa
tersebut. Misalnya pencurian, pembunuhan, perkosaan atau perbuatan yang
berkaitan dengan politik dan sebagainya. Semua itu kita sebut dengan istilah jarimah
yang kemudian dirangkaikan dengan satuan atau sifat perbuatan tadi. Oleh
karena itu, kita menggunakan istilah jarimah pencurian, jarimah pembunuhan,
jarimah perkosaan, jarimah politik. Bukan istilah jinayah pencurian, jinayah
pembunuhan, jinayah perkosaan dan jinayah politik.
Adapun dalam pemakaiannya, kata jinayah
lebih mempunyai arti umum (luas), yaitu ditujukan bagi segala sesuatu yang
ada sangkut pautnya dengan kejahatan manusia dan tidak ditujukan bagi satuan
perbuatan dosa tertentu. Oleh karena itu, pembahasan fiqih yang memuat
masalah-masalah kejahatan, pelanggaran yang dikerjakan manusia, dan hukuman
yang diancamkan kepada pelaku perbuatan disebut Fiqih Jinayah, bukan
istilah Fiqih Jarimah.[6]
2.
DASAR
HUKUM
a.
Al-Qur’an
sebagai Sumber Hukum Pertama
Semua
ulama sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber ajaran Islam, sekaligus sumber
hukum Islam yang pertama dan yang paling utama. Landasan dan dalil bahwa
Al-Quran sebagai sumber hukum pertama dalam Islam adalah banyaknya ayat
Al-Quran yang menetapkan demikian. Al-Quran sebagai sumber dari segala sumber
hukum menjadi ide dasar lahirnya hukum dan peraturan yang berhubungan dengan
kehidupan sosial kemasyarakatan, termasuk persoalan yang memerlukam ijtihad
para ulama. Dalil-dalil yang digali dari Al-Quran mayoritas bemifat kulliyat
atau umum dapat ditakhsiskan atau terdapat dam juz iyah yang mengkhususkan
perihal hukum tertentu, baik oleh ayat Al Quran maupun oleh hadis.[7]
Beberapa firman
Allah dalam Al-Quran yang menyatakan bahwa al- Qur’an sumber utama bagi
ketentuan hukum Islam adalah sebagai berikut.
1)
Surat
Al- Isr’a ayat 9:
إِنَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ يَهۡدِي لِلَّتِي هِيَ أَقۡوَمُ
وَيُبَشِّرُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمۡ
أَجۡرٗا كَبِيرٗا
Sungguh, Al-Quran ini memberikan petunjuk ke(jalan) yang paling
Iurus dan memberi kabar gembira kepada
orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat pahala yang
besar. (Q.S. Al-Isra' [17]: 9)
Ayat tersebut
menegaskan bahwa Al-Quran merupakan petunjuk bagi orang-orang yang beriman.
Menurut ulama ushul fiqh, ayat itu dapat dimaknai bahwa Al-Quran menjadi
patokan atau kaidah dan tatanan hukum untuk manusia dalam menjalankan kehidupan
dengan baik dan benar menurut peraturan atau hukum hukum Allah SWT. Al-Quran
adalah karya mukjizati dari Allah SWT.[8]
2)
Surat
Al-Baqarah ayat 1 -2:
الٓمٓ ذَٰلِكَ
ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ
Alif laam miim. Kitab (A1 Quran) ini tidak
ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah
[2]: 1-2).
Modal dasar
keyakinan atas Al-Quran adalah keimanan, sebagai fondasi ketakwaan, sedangkan ketakwaan yang sempuma
harus didasarkan pada keyakinan bahwa Al-Quran sebagai petunjuknya.[9]
Ayat –ayat hukum
yang terdapat dalam Al-Quran terdiri atas ayat-ayat yang memerintah, melarang,
menganjurkan, dan memberikan berbagai pilihan untuk umat manusia. Gambaran
bahwa al- Quran sebagai sumber hukum islam berkaitan dengan perintah-perintah
Allah yang mewajibkan umat islam melaksanakan adalah sebagai berikut.
1)
Ayat yang berkaitan dengan pemerintah menegakkan
keadilan dan menjalankan amanah, dalam surat An-Nahl ayat 90:
إنَّ ٱللَّهَ
يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَٰنِ وَإِيتَآيِٕ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَيَنۡهَىٰ
عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِ وَٱلۡبَغۡيِۚ يَعِظُكُمۡ لَعَلَّكُمۡ
تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran. (Q.S.
An-Nahl [16]: 90)
2)
Surah
An-Nisa ayat 57:
وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ سَنُدۡخِلُهُمۡ
جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدٗاۖ لَّهُمۡ
فِيهَآ أَزۡوَٰجٞ مُّطَهَّرَةٞۖ وَنُدۡخِلُهُمۡ ظِلّٗا ظَلِيلًا
Dan orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang shaleh, kelak akan Kami
masukkan mereka ke dalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai; kekal
mereka di dalamnya; mereka di dalamnya mempunyai isteri-isteri yang suci, dan
Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman.(Q.S. An-Nisa [4]: 57)
Dua ayat diatas menunjukkan bahwa Al-Quran menyuruh umat manusia,
terutama yang beriman agar menegakkan hukum dengan adil dan menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan.[10]
b.
As-Sunnah
Sumber Hukum Islam Kedua
Sunnah merupakan
Sumber hukum kedua setelah Al-Quran, didasarkan pada ayat-ayat Allah berikut
ini. Surat An-Nisa' ayat 59:
ياأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ
ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ
فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ
وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (Q.S. An-Nisa [4]: 59)[11]
Ayat Al-Quran yang
dikemukakan di atas adalah dalil yang qath’i dillalah, yang menyatakan hal-hal
berikut:
1)
Rasulullah
SAW. adalah manusia pilihan Allah yang senantiasa dijaga dari berbagai bentuk
kesalahan atau ma’shum sehingga semua yang merupakan sunnahnya wajib dikuti dan
dijadikan sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran
2)
Semua
perilaku Rasulullah SAW. merupakan suri teladan bagi manusia yang beriman. Oleh karena itu sunnah-sunnah
fi’liyah hanya merupakan pedoman kehidupan dan sumber hukum Islam
3)
Ketetapan
hukum yang tidak ditemukan dalam Al-Quran dapat dicari pada As-Sunnah sebagai
sumber hukum kedua
4)
Umat
Islam yang taat kepada Rasulullah SAW adalah umat Islam yang menjalankan
sunnahnya
5)
Taat
kepada Rasul secara otomatis taat kepada Allah yang mengutusnya.
Dalam kajian ushul
fiqh, As-Sunnah merupakan metode untuk menjelaskan Al-Quran. Oleh karena itu, fungsi
dari As-Sunnah adalah penjelas, penafsir, penguat, penambah, dan pengkhusus
berbagai hukum yang terdapat dalam Al-Quran yang masih global atau masih
mutitafsir dan ada pula yang masih mubham atau bermakna samar.[12]
c.
Ijma’
sebagai Sumber Hukum yang Ketiga
Secara
terminologis, ijma' adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma'
umat Nabi Muhammad SAW terhadap hukum syara' dalam suatu masa setelah beliau
wafat. Kata "dari umat Muhammad SAW" adalah ijma' para
mujtahid umat Muhammad, sekaligus mengecualikan kesepakatan para mujtahid yang
bukan dari umat Muhammad SAW, misalnya umat Nabi Isa, umat Nabi Musa, dan
selainnya.
Dari definisi ini
dapat ditarik pemahaman bahwa ijma' merupakan:
1.
Kesepakatan
seluruh mujtahid dari ijma' umat Muhammad SAW
2.
Ijma’ dilakukan dalam suatu masa setelah
Rasulullah SAW wafat
3.
Ijma’ berkaitan dengan hukum syara’.
Ada berbagai macam ijma', antara
lain sebagai berikut:
1.
Ijma’
qauli atau ijma’ sharih, yaitu ijma’
yang dikeluarkan oleh para mujtahid secara lisan ataupun tulisan yang
mengeluarkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain pada zamannya. Ijma’
ini disebut sebagai ijma’ bayani atau ijma’ qath’i.
2.
Ijma’
sukuti atau ijma’ ghair sharih,
yaitu ijma’ yang dikeluarkan oleh para mujtahid dengan cara diam, tidak
mengeluarkan pendapatnya yang diartikan setuju atas pendapat mujtahid lain.
3.
Ijma’
sahabat, yaitu ijma’ yang dikeluarkan oleh para sahabat.
4.
Ijma’ khalifah yang empat.
5.
Ijma’
Abu Bakar dan Umar.
6.
Ijma’ ulama Madinah.
7.
Ijma’ ulama Kufah dan Basrah
8.
Ijma’ itrah (ahl aI-bait atau kaum syi'ah).
Menurut ulama Hanafiyah, ijma’
yang sebenarnya hanya ijma’ qauli dan ijma’ sukuti. Adapun ulama
Syafi’iyah mengatakan bahwa hanya ijma’ qauli yang dipandang sebagai ijma’.
Mujtahid yang dinyatakan benar-benar ijma’ hanya sahabat. Oleh karena
itu, selain ijma’ sahabat berarti bukan ijma’ yang sesungguhnya
yang dapat dijadikan sumber hukum atau dalil Kalaupun disebut ijma’,
tidak dapat dijadikan hujjah syar’iyah.[13]
d.
Qiyas
Sumber Hukum Keempat
Qiyas berasal dari kata qasa,
yaqisu, qaisan, artinya mengukur dan ukuran. Kata qiyas diartikan
ukuran sukatan, timbangan, dan lain-lain yang searti dengan itu, atau
pengukuran sesuatu dengan yang lain atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenis.
Qiyas
diartikan pula dengan at-taqdir wa aI-taswiyah, artinya menduga dan
mempersamakan.
Jadi, qiyas adalah
menetapkan hukum perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu
yang sudah ada ketentuan hukumnya. Diartikan pula sebagai proses pemindahan
hukum yang terdapat pada pokok ke cabang (dari ashl ke furu') karena adanya
illat hukum yang sama, dan atau adanya illat yang tidak dapat diketahui dengan
pendekatan kebahasaan (logika lingustik).
Dalam kitab At-Tasyri
Al-Jina’i karya Abdul Qodir Audah terdapat beberapa terma yang menunjukkan
pengertian titik tolak atau dasar-dasar hukum pidana Islam. Misalnya, terma ad-daim,
al-asas, mabadi, nazhariyyat, al-ashl dan al-qaidah.
Abdul Qadir Audah
menjelaskan bahwa Akhlak Fadilah merupakan pondasi utama dari masyarakat
Islam, karena itu setiap pelanggaran akhlak berat sanksinya. Pada halaman yang
sama Abdul Qadir Audah menyatakan, “Syariat mengakui akhlak terpuji sebagai
pondasi utama bagi masyarakat. Karena itu, ia mendorong pemeliharaan akhlak
dengan cara memberi sanksi pada setiap perbuatan yang berkenaan dengan akhlak.”
Dengan demikian,
yang dimaksud dengan ad-da’imah atau ad-da’aim adalah norma induk (grand norm) bagi
norma-norma yang ada di bawahnya. Menurutnya, norma akhlak sebagai pembeda yang
mendasar antara hukum pidana Islam dengan hukum pidana lain. Umpamanya status
hukum zina dan minuman keras. Syariat Islam memberikan hukuman keras terhadap
perbuatan zina dalam bentuk apapun karena zina dipandang sebagai pelanggaran
hukum (jarimah) yang menyangkut akhlak. Apabila akhlak rusak, masyarakat
akan rusak dan mengalami kehancuran. Begitupula, keharaman minuman keras.
Status hukum zina
dan minuman keras berbeda dalam pandangan hukum diluar Islam. Perbuatan dapat
dikatakan sebagai perbuatan zina bila salahsatu pihak merasa dirugikan dan
perbuatan semacam ini hanya bersifat pribadi sehingga termasuk pada delik
aduan. Demikian pula dengan status minuman keras bukan hakikat dari pelanggaran
hukum. Adapun yang menjadi perbuatan hukum apabila mabuknya mengganggu
ketertiban umum.
Disamping terma ad-da’aim
adalah terma al-asas yang secara operasional dipandang identik untuk
menunjukkan norma pokok hukum Islam, seperti tertulis dalam teks berikut :
Alasan syariat memerintahkan akhlak pada segi ini karena syariat
ini berpijak pada agama. Sesungguhnya agama itu memerintahkan akhlak-akhlak
yang baik dan menganjurkan hal-hal yang utama Qanun itu tidak berpijak pada
agama.
Adapun terma mabadi
dan terma nazhariyyah yang sementara dipahami sebagai prinsip awal atau
teori-teori dasar yang diterapkan secara bersamaan menunjukkan maksud yang
sama.
C.
MATERI POKOK
1.
Jinayah
(Hukum Pidana Islam)
a.
Pengertian
Jinayah
Jinayah adalah masdar
(kata asal) dari kata kerja (fi’il madhi) janaa yang
mengandung arti suatu kerja yang diperuntukkan bagi satuan laki-laki yang telah
berbuat dosa atau salah. Pelaku kejahatan itu sendiri disebut dengan jaani
yang merupakan bentuk mufrod bagi satuan laki-laki atau bentuk mufrad
mudzakkar sebagai pembuat kejahatan atau isim fa’il. Adapun sebutan
pelaku kejahatan wanita adalah jaaniah, yang artinya seorang
wanita yang berbuat dosa. Orang yang menjadi sasaran atau objek perbuatan si jaani
atau si jaaniah atau mereka yang terkena dampak dari perbuatan si
pelaku dinamai mujnaa alaih atau korban.[14]
b.
Kedudukan
Jinayah
Kedudukan inti
hukum pidana Islam terletak pada hal-hal berikut[15]:
1)
Penciptaan
keadilan ilahiah dan insaniah
2)
Penciptaan
kemanusiaa universal
3)
Penghapusan
dosa-dosa duniawi
4)
Pelaksanaan
keamanan sejati di dunia
5)
Perwujudan
ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW
6)
Pelaksanaan
lembaga peradilan yang bermartabat dan berkeadilan
7)
Pelaksanaan
asas persamaan hak dan kewajiban atas nama hukum
8)
Perwujudan
tanggung jawab manusia dalam segala bentuk perbuatan
9)
Perwujudan
tujuan hukum, yakni menjerakan pelaku kejahatan.
c.
Tujuan
Jinayah
Hukum pidana Islam merupakan bagian
dari hukum Islam, dan tujuan yang terkandung dalam hukum pidana Islam. Para
ahli hukum mengatakan bahwa hukum Islam bertujuaan bahwa hukum Islam bertujuan
menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia, baik dunia maupun akhiat.
Demikinalah pula, tujuan hukum pidana Islam. Ibn Qayyim Al-Jauziyah mengatakan
bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan keadilan, bertentangan denga
rahmat, bertentengan dengan hikmah dan kemaslahatan, serta menciptakan
kehancuran, bukan merupakan citra syariat Islam. Syariat adalah keadilah dari
Allah untuk semua hamba-Nya, rahmat untuk makhluk-Nya sebagai pengayoman
kehidupan di muka bumi. Oleh karena itu, semangat hukum pidana Islam tidak
terlepas dari koridor hukum
d.
Asas
Legalitas dalam Hukum Pidana Islam
Salah satu unsur
hukum pidana Islam adalah unsur formal, yaitu adanya peraturan yang mengatur
tindakan yang dinyatakan sebagai perbuatan jarimah atau adanya ketentuan syara’
atau nash yang menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan
yang dinyatakan oleh hukum sebagai sesuatu yang dapat dihukum. Ketentuan
tersebut harus sudah ada sebelum perbuatan dilakukan.[16]
e.
Prinsip-Prinsip
Hukum Pidana Islam
Prinsip secara
bahasa adalah permulaan, asal tempat pemberangkatan; titik tolak atau al-mabda.
Prinsip yang dimaksud adalah kebenaran universal yang inheren didalam hukum
Islam, khususnya hukum pidana Islam (tasyri jina’i) dan menjadi titik
tolak pembinaan.
Prinsip hukum Islam adalah titik tolak pelaksanaan ketetapan Allah
yang berkaitan dengan mukalaf, baik yang berbentuk perintah, larangan maupun
pilihan. Prinsip yang paling utama adalah ketauhidan, keadilan, dan
kemanusiaan.
1)
Prinsip
Ketauhidan
Dengan prinsip ketauhidan, semua manusia memiliki hak yang sama
untuk berhubungan dengan Allah tanpa perantara, karena Allah tidak pernah pilih
bulu sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 186 :
وَاِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِيْ غَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَالدَّاعِ اِذَا
دَعَانِ ۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْالِيْ وَلْيُؤْمِنُوْابِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ۞
Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku,
maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila
dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman
kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran. (Q.S.
Al-Baqarah [2] 186).
2)
Prinsip
Keadilan
Prinsip keadilan berpijak pada pandangan bahwa seluruh makhluk
Allah tercipta dengan keseimbangan. Terlebih manusia diberikan alat untuk
mempertahankan keseimbangannya dengan akal dan hati. Nilai-nilai kemanusiaan
membangun prinsip persamaan dimata Allah dan sesama manusia. Evaluasi tentang
derajat manusia bergantung pada hak prerogatif Allah, yakni ketakwaan,
sebagaimana difirmankan dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13 :
يٰٓاَيُّهَاالنَّاسُ
اِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِّنْ ذَكَرٍوَّ اُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ
شُعُوْبًاوَّقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوْا ۗ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ اَتْقٰكُمْ
ۗ اِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ۞
Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bagsa dan
bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sugguh, Allah maha
Mengetahui, maha Teliti. (Q.S. Al-Hujurat [49]: 13).
3)
Prinsip
Kemanusiaan
Prinsip kemanusiaan membangun al-musawwah antara kaum kafir
dan kaum yang kaya. Hukum Islam tidak membenarkan upaya diskriminatif antara
kaum borjuis dan proletar. Semua manusia bergantung pada amal perbuatannya.
Allah akan membalasnya meskipun hanya sebesar biji sawi. Sebagaimana
dikemukakan dalam Al-Qur’an surat Az-Zalzalah ayat 7-8:
فَمَنْ
يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗ ۞ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ
ذَرَّةٍ شَرًّايَّرَهٗ ۞
Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia
akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat
zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.
(Q.S. Az-Zalzalah [99] : 7-8)
Karena menjadi titik tolak pelaksanaan hukum Islam, tiga prinsip
tersebut merupakan “nenek moyang” prinsip-prinsip lainnya. Ketauhidan sebagai
produk dari keyakinan manusia kepada Allah yang dilegalisasi oleh dalil naqli
dan pemahaman filosofis tentang falsafah wujud. Keadilan merupakan salahsatu
sifat mutlak yang dikuasai oleh Allah. Demikian pula, kemanusiaan. Allah tidak
pernah memilih-milih dan memilah-milah dalam menciptakan manusia, memberi
rezeki, memberi kekuatan, dan kehendak dalam diri manusia. Seluruhnya diberi
dengan adil tanpa membayar sepeserpun. Semua manusia diberi akal untuk
berpikir. Dengan pikirannya, manusia mampu membedakan yang baik dan yang buruk.
4)
Prinsip
Persamaan Hak dan Kewajiban
Untuk menyebarluaskan prinsip persamaan hak dan kewajiban, dalam
hukum Islam ditanamkan prinsip amr ma’ruf nahy al-munkar. Dengan
demikian, semua umat Islam berkewajiban memberikan contoh yang patut diteladani
dan mengaja pada kebenaran. Allah menyatakan hal itu dalam Al-Qur’an surat
Asy-Syu’ara ayat : 38
وَالَّذِيْنَ
اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ وَاَقَامُواالصَّلٰوةَ وَاَمَرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْ
وَمِمَّارَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ۞
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan
mendirikan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara
mereka, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada
mereka. (Q.S. Asy-Syura [42]:38)
Akan tetapi, kewajiban amar ma’ruf nahy munkar harus merujuk
pada prinsip toleransi dan tidak ada paksaan, sehingga kebenaran harus diterima
dengan kesadaran yang tinggi dari pemeluk ajaran Islam.
5)
Prinsip
toleransi
Prinsip toleransi sebenarnya berkaitan dengan prinsip kemerdekaan (al-hurriyah).
Manusia diberikan kebebasan bergerak dan bertindak sepanjang tidak melakukan
kerusakan dan merugikan masyarakat umum atau hak-hak orang lain. Bebas bukan
berarti memaksakan kehendak agar akidah orang lain berpindah. Kemerdekaan
adalah kebebasan menjalankan hukum-hukum Allah. Dalam Al-Qur’an surat
Al-Baqarah ayat 265, Allah SWT berfirman :
فَمَنْ
يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدِاسْتَمْسَكَ
بِالْعُرْوَةِالْوُثْقٰى لاَانْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ۞
tidak ada paksaan untuk (menganut) agama (Islam) sesungguhnya telah
jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa
ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang
(teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah maha Mendengar,
maha Mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 256)
Meskipun berbeda agama, dalam kehidupan sosial, manusia diperintah
oleh ajaran agama dan hukum Islam untuk hiudp bergotong royong. Menjalin
kehidupan bersama dan saling menolong dengan sesama manusia sehingga prinsip
kemerdekaan berhubungan langsung dengan prinsip al-ta’awun dalam hukum
Islam.
f.
Unsur-Unsur
Jarimah
Untuk dianggap
atau dikategorikan suati jarimah, suatu perbuatan harus memiliki beberapa
persyaratan atau beberapa unsur. Unsur-unsur tersebut adalah:
1)
Unsur
Formal (Rukun Syar’i)
Unsur
formal adalah ketentuan hukum syara’ (nash) yang menyatakan perbuatan-perbuatan
yang dapat dihukum. Unsur ini mencakup dua pokok :
a)
Ketetapan
hukum syara’ tentang segala perbuatan yang dapat dihukum (jarimah) dan
sanksi-sanksinya (‘uqubah). Bagian ini terdiri atas kaidah-kaidah pokok
hukum jinayah, sumber hukum, penafsiran hukum, kontradiksi hukum, dan hubungan
hukum pidana Islam dengan hukum pidana umum.
b)
Memberlakukan
ketetapan-ketetapan hukum pidana Islam dalam dimensi waktu, dimensi tempat, dan
dimensi personal.
2)
Unsur
Materiil (Rukun Madi)
Unsur materiil
adalah perilaku atau perbuatan yang membentuk jarimah (pelanggaran), baik dalam
arti berbuat sesuatu maupun tidak berbuat. Jadi, unsur materiil adalah
perbuatan yang dinyatakan melawan hukum, baik bersifat melakukan (ijabiyah)
maupun tidak melakukannya (salbiyah), baik dilakukan sendiri maupun
kelompok.
3)
Unsur
Moriil (Rukun Adabi)
Unsur moriil
dinamakan pula dengan al-mas’uliyyah al-jinayyah, yaitu pertanggung
jawaban pidana daru pelaku delik atau jarimah. Prinsip dasar dari unsur ini
adalah setiap orang menanggung resiko hasil perbuatannya yang diharamkan dalam
keadaan sadar dan tahu.
2.
Al-‘Uqubat
a.
Pengertian
Uqubat
Hukum
pidana dalam islam disebut Al-‘Uqubaat dari kata tersebut meliputi
hal-hal yang merugikan atau tindak kriminal. Syari’ah menekankan pemenuhan
hak-hak semua individu secara hukum. Hukum syari’ah harus berpegang kepada
hukum yang ditetapkan oleh kasus al-‘uqubat itu. Oleh karenanya ia tidak boleh
menggunakan hukuman selain hukuman yang telah di tetapkan Al-Qur’an dan Hadist.[17]
Abdul Qadir Audah
memberikan definisi hukuman sebagai berikut:
العقوبة هي الجزاء المقرّر لمصلحة الجماعة على عصيان امر الشارع
Artinya: “Hukuman adalah pembalasan atas
pelanggaran perintah syara’ yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat”
Dari
definisi di atas, hukuman merupakan balasan yang setimpal atas perbuatan pelaku
kejahatan yang mengakibatkan orang lain menjadi korban akibat perbuatannya.
Atau dengan kata lain, hukuman merupakan penimpaan derita dan kesengsaraan bagi
pelaku kejahatan sebagai balasan dari apa yang telah diperbuatnya kepada orang
lain atau balasan yang diterima pelaku akibat pelanggaran perintah syara’.[18]
b. Dasar Hukuman
Berbagai kebijakan yang ditempuh oleh Islam dalam upaya
menyelamatkan manusia baik perseorangan maupun masyarakat dari kerusakan dan
menyingkirkan hal-hal yang menimbulkan kejahatan. Islam berusaha mengamankan
masyarakat dengan berbagai ketentuan, baik berdasarkan Al-Qur’an, Hadits Nabi,
maupun berbagai ketentuan dari ulil amri atau lembaga legislatif yang
mempunyai wewenang menetapkan hukuman bagi kasus-kasus tazir.
Dasar-dasar penjatuhan hukuman tersebut diantaranya :
يَادَاوٗدُ
اِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيْفَةً فِى الْاَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ
بِالْحَقِّ وَلاَتَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عًنْ سَبِيْلِ اللهِ اِنَّ
الَّذِيْنَ يُضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ بِمَا
نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَابِ ۞ (ص: ٢٦)
Artinya :
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka
bumi ini, maka berikanlah keputusan (hukuman) diantara manusia dengan adil dan
janganlah mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan
Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapatkan
siksa yang berat karena mereka melupakan hari perhitungan”
c. Tujuan Hukuman
Esensi
dari pemberian hukuman bagi pelaku suatu jarimah menurut Islam adalah, Pertama,pencegahan
serta balasan (al-ra’du waz zahru) dan kedua, adalah perbaikan
dan pengajaran (al-ishlah wat-tahdzib).
Dalam
aplikasinya,hukuman dapat dijabarkan menjadi beberapa tujuan, sebagai berikut:
1) Untuk memelihara masyarakat
2) Sebagai upaya pencegahan dan prevensi
khusus bagi pelaku.
3) Sebagai upaya pendidikan dan pengajaran (ta’dib
dan tahdzib)
4) Hukuman sebagai balasan atas perbuatannya
Tujuan
pokoknya adalah menyadarkan semua naggota masyarakat untuk berbuat baik dan
menjauhi berbuat jelek, mengetahui kewajiban dirinya, dan menghargai hak orang
lain.[19]
d. Macam-Macam Hukuman
Hukuman dibagi menjadi beberapa
macam sesuai dengan tindak pidana yang dituangkan dalam syara’ ataupun yang
tidak terdapat nash hukumnya. Ditinjau dari segi ada dan tidak ada nashnya
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, hukuman dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud,
qisas, diyat, dan kafarah. Misalnya hukuman bagi penzina, pencuri,
perampok, pemberontak, pembunuh, dan orang yang menzihar istrinya.
2) Hukuman yang tidak ada nashnya, yang
disebut hukuman ta’zir, seperti percobaan melakukan tindak pidana,
pencurian yang tidak sampai batas jumlah yang ditetapkan.
Ditinjau
dari segi hubungan antara hukuman dengan hukuman yang lain, ada empat macam
hukuman, yaitu:
1) Hukuman pokok (al-uqubat al-ashliyah),
yaitu hukuman asal bagi kejahatan, seperti hukuman mati bagi pembunuh dan
hukuman cambuk (jilid) seratus kali bagi penzina ghayr muhsan.[20]
2) Hukuman Pengganti (al-uqubat
al-badaliyah), yaitu hukuman yang menggantikan kedudukan hukuman pokok
(hukuman asli) yang karena suatu sebab tidak dapat dilaksanakan.
3) Hukuman tambahan (al-uqubat al-taba’iyah),
yaitu hukuman yang dikenakan mengiringi hukuman pokok. Seorang pembunuh adalah
pewaris, maka ia tidak mendapat warisan dari harta si terbunuh.
4) Hukuman pelengkap (al-uqubat
al-takmiliyyah), yaitu hukuman untuk melengkapi hukuman pokok yang telah
dijatuhkan, namun harus melalui keputusan tersendiri oleh hakim.
3.
Hudud
Had
hanya diberikan bila terjadi pelanggaran atas hak-hak masyarakat. Kata Hudud
adalah bentuk jamak dari Bahasa Arab “Hadd” yang berarti pencegahan, penekanan
dan larangan. Secara terminologis Hudud adalah hukuman yang telah ditetapkan
Syari’at untuk mencegah kejahatan.
Dalam
hukum Islam, kata Hudud dibatasi untuk hukuman karna tindak pidana yang telah
disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah nabi SAW, sedang hukuman lain ditetapkan
pertimbangan hakim atau yang disebut dengan Ta’dzir.
Tindak
pidana yang dapat dihukum oleh syari’at yaitu tindakan yang dapat mempengaruhi
masyarakat, seperti pembunuhan (qatl), perampokan (hirobah),pencurian
(sariqah),penzinahan (zina), tuduhan zina(qadzaf. Tetapi
perlu di pahami bahwa Al-Qur’an telah menetapkan ketentun umum bagi hukuman
pelanggaran pada ayat berikut :
وَجَزَٰٓؤُاْ سَيِّئَةٖ سَيِّئَةٞ مِّثۡلُهَاۖ
فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ
ٱلظَّٰلِمِينَ ٤٠
Artinya :
Dan balasan suatu kejahatan
adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka
pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang
yang zalim.
Hukuman
atas tindakan pidana dapat dikatagorikan kedalam empat hal:
a. Hukuuman fisik yang meliputi hukuman mati,
potong tangan, hukuman cambuk, dan rajam sampai mati.
b. Membatasi kebebasan, meliputi hukuman penjara,
atau mengasingkan pelaku kejahatan.
c. Membayar denda
d. Peringatan yang telah diberikan oleh hakim.
Adapun hikmah disyari’atkannya Hudud yaitu :
a. Untuk menjadi pembelajaran bagi orang yang
melakukan tindakan pidana, sehingga ia tidak mau mengulanginya lagi
b. Untuk mensucikan diri dari dosa yang telah
dilakukan orang yang dijatuhi hukuman dah (Hudud)
c. Untuk pencegahan terjadinya tindak pidana,
karena orang takut terhadap beratnya ancaman hukuman tersebut.[21]
4.
Qishas
a.
Pengertian Qishas
Kata qisas dalam hadis
disebut dengan kata qawad, maksudnya adalah semisal, seumpama (al-mumatsilah).
Adapun maksud yang dikehendaki syara’ adalah kesamaan akibat yang ditimpakan
kepada pelaku tindak pidana yang melakukan pembunuhan atau penganiayaan
terhadap korban. Dalam ungkapan lain, qisas adalah pelaku akan menerima balasan
sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Abdul Qadir Audah mendefinisikan qisas
sebagai keseimbangan atau pembalasan terhadap pelaku tindak pidana dengan sesuatu
yang seimbang dari apa yang telah diperbuatnya.
Hukuman ini dianggap sebagai hukuman
terbaik sebab mencerminkan keadilan. Pelaku mendapat imbalan yang setimpal
dengan perbuatan yang dilakukan terhadap orang lain. Hukuman ini menjadikan
pelaku berpikir dua kali untuk melakukan ha yang serupa ketika dia mengingat
akibat yang sama yang akan ditimpakan kepadanya.
Qisas merupakan hukuman pokok bagi
perbuatan pidana dengan objek (sasaran) jiwa atau anggota badan yang dilakukan
dengan sengaja, seperti membunuh, melukai, menghilangkan anggota badan dengan
sengaja. Oleh karena itu, bentuk jarimah ini ada dua, yaitu pembunuhan
sengaja dan penganiayaan sengaja.
Pembunuhan sengaja adalah pembunuhan
yang dilakukan secara kesengajaan dengan sasaran jiwa korban dan mengakibatkan
kematian. Dalam hal ini, ada dua unsur pokok, yaitu kesengajaan berbuat atau
perbuatan itu diniati, bahkan merupakan bagian skenario dari pelaku. Untuk
membedakannya dari pembunuhan semi sengaja, pelaku harus memakai alat yang
menurut kelaziman dipakai untuk membunuh, seperti benda-benda tajam, senjata
api dan racun. Dikategorikan membunuh dengan sengaja, misalnya membakar,
menenggelamkan korban kedalam air, mendorong korban dari ketinggian dan lain
sebagainya.
Adapun penganiayaan sengaja adalah
bentuk perbuatan yang dilakukan secara sengaja dengan sasaran anggota badan
yang mengakibatkan luka, hilangnya anggota badan, atau hilangnya fungsi anggota
badan. Di sini juga ada dua unsur pokok, yaitu kesengajaan berbuat dan hasil
yang diakibatkan dikehendaki. Perbedaannya dengan pembunuhan sengaja terletak
pada hasilnya. Pada pembunuhan sengaja, hasil yang dikehendaki adalah
kematiaan, sedangkan pada penganiayaan sengaja, hasilnya adalah luka, cacat
korban atau hilangnya fungsi anggota badan korban.
b. Kalsifikasi Hukum Qishas
Hukuman pokok pada jarimah pembunuhan
sengaja adalah qisas, yaitu dibunuh kembali. Sedangkan hukuman pokok, qisas
mempunyai hukum pengganti, yaitu apabila keluarga korban menghapuskan hukuman
pokok ini, qisas pun tidak dapat dijatuhkan dan digantikan dengan hukuman
diyat. Diyat pun seandainya dimaafkan dapat dihapuskan dan sebagai penggantinya,
hakim menjatuhkan hukuman ta’zir. Jadi, qisas sebagai hukuman pokok
mempunyai dua hukuman pengganti, yaitu diyat dan ta’zir.
Adanya hukuman pengganti pada jarimah
qisas disebabkan adanya pemaafan dari korban atau wali atau ahli warisnya.
Hal itu dimungkinkan sebab jarimah qisas merupakan haq adami hak
perseorangan. Oleh karena itu, jika korban (masih hidup) atau wali atau ahli
waris (jika korban mati) memaafkan perbuatan jarimah, hukuman qisas pun
menjadi gugur digantikan dengan hukuman diyat. Apabila korban atau keluarganya
memaafkan, diyat dapat dihapus. Sebagai penggantinya, hakim akan menjatuhkan
hukuman ta’zir. Di samping itu, hukuman pokok tidak boleh dijatuhkan
ketika perbuatan tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai jarimah qisas akibat
adanya kesamaran atau syubhat dalam segala aspek, baik pelaku, korban maupun
tempat. Dalam hal ini hukuman pokok digantikan dengan hukuman pengganti (ta’zir).
Penggantinya bukan diyat, sebab dalam kasus ini terdapat syubhat
atau kesamaran dan bukan pemaafan. Dalam kasus syubhat, jarimah tidak
dianggap sebagai jarimah qisas lagi.
Oleh karena itu, hukuman qisas tidak
dikenakan kepada pelaku pembunuhan, kecuali terpenuhinya persyaratan dibawah
ini.
1)
Korban
adalah orang yang haram dibunuh, artinya ia terlindungi darahnya. Orang yang
tidak terlindungi darahnya menurut Islam adalah pezina, muhsan, orang
murtad, kafir harbi dan lain-lain. Walaupun sebagai tindakan preventif, hakim
dapat menjatuhkan hukuman lain kepada pelaku, berupa hukuman ta’zir. Hal
ini karena membiarkan pembunuh melakukan aksinya -walaupun korbannya bukan yang
dilindungi darahnya- akan menciptakan suasana main hakim sendiri (tahakumiyyah)
yang menjurus pada saling membunuh secara berantai dan anarkis.
2)
Pelaku
pembunuhan adalah orang yang mukallaf, akil baligh, tidak hilang ingatan (gila)
sebab mereka dikenai pembebanan (taklif).
3)
Pelaku
pembunuhan mempunyai hak pilih untuk melakukan atau meninggalkan. Artinya, dia
melakukan perbuatan tersebut tanpa tekanan, tanpa paksaan berqat yang
menyebabkan hilangnya hak pilih tersebut.
4)
Pelaku
pembunuhan bukan orang tua korban, ayah, atau datuknya.
Adapun
penganiayaan sengaja juga dijatuhi hukuman qisas. Penganiayaan sengaja dapat
berbentuk pelukaan terhadap anggota badan, penghilangan fungsi anggota badan,
atau penghilangan (pemisahan) dari tempat asalnya.
Dalam
pelaksanaa hukuman, baik untuk pembunuhan sengaja maupun penganiayaan
(pelukaan) sengaja, pelaku menerima hukuman sesuai dengan yang diterima korban,
tidak boleh melebihi yang dilakukan pelaku terhadap korban. Melebihkan hukuman
dianggap sebagai perbuatan yang melampaui batas ketentuan dan tidak dikehendaki
pembuat syariat.
Dalam
hal penganiayaan sengaja yang dimaafkan korban dan diganti dengan diyat, dengan
mengutip Ahmad Hanafi, Rasulullah telah menentukan sanksinya, yaitu apabila
melukai kepala atau muka yang sam pai menampakka tulang, diyatnya adalah lima
ekor unta. Bagi pelukaan yang mematahkan tulang, dikenakan hukuman sepuluh ekor
unta. Pelukaan yang mengenai lapisan otak dan masuk ke perut, hukumannya adalah
sepertiga diyat atau lebih kurang tiga puluh tiga ekor sebab diyat itu seratus
ekor unta. Jadi, diyat pada penganiayaan sengaja bukan hukuman pokok,
melaiinkan hukuman pengganti dari qisas yang dihapuskan atau karena suatu sebab
tidak dapat dijatuhkan.
5.
Diyat
a. Pengertian Diyat
Diyat dalam arti jarimah adalah
perbuatan yang dilakukan seseorang terhadap objek jiwa dan anggota badan, baik
perbuatannya mengakibatkan kematian, hanya mengakibatkan luka, maupun tidak
berfungsinya anggota badan korban, yang dilakukan tanpa sengaja atau
semisengaja. Adapun diyat dalam arti hukuman merupakan hukuman pokok bagi
jarimah dengan sasaran manusia yang dilakukan dengan sengaja atau semisengaja.
Disamping itu, diyat merupakan hukuman pengganti dari hukuman pokok (qisas)
yang dimaafkan atau karena sebab tertentu yang tidak dapat dilaksanakan. Diyat
merupakan hukuman pokok bagi pembunuhan tidak disengaja, pembunuhan
semisengaja, dan pembunuhan tidak disengaja.
Pembunuhan tidak sengaja adalah
ketidaksengajaan kedua unsur khusus, yaitu ketidaksengajaan perbuatan, artinya
perbuatan tersebut tidak diniatkan ke arah sasaran, misalnya melempar kerikil
ke arah burung, kerikil terpental ke arah seseorang dan ia kaget kemudian
terjatuh hingga meninggal dunia.
Pembunuhan semisengaja pada
hakikatnya merupakan bentuk penganiayaan yang dilakukan secara sengaja, dengan
memakai alat yang menurut kelaziman tidak mematikan, tetapi korban penganiayaan
tersebut mati, seperti memukul dengan sapu lidi. Pemukulannya itu dilakukan
dengan sengaja karena suatu sebab, tetapi akibat yang ditimbulkan berupa
kematian yang tidak dikehendaki oleh pelaku.
Adapun penganiayaan tidak sengaja
adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, tetapi dengan sasaran lain
ataupun dilakukan dengan tidak sengaja, baik perbuatan itu maupun objek atau
sasarannya. Artinya, perbuatan atau sasaran semata-mata kekeliruan, tetapi
akibatnya dapat melukai, menghilangkan anggota badan, atau menghilangkan fungsi
anggota badan. Seperti seseorang sengaja melempar batu untuk mengusir burung,
dan batu tersebut mengenai orang lain yang mengakibatkan cacat. Contoh lainnya
karena kekeliruan, misalnya menyimpan alat-alat atau barang berbahaya tidak di
tempatnya, sehingga menyebabkan orang lain menjadi celaka.
b. Klasifikasi Diyat
Imam Abu Hanifah dan Imam malik
menjelaskan tiga macam diyat, yaitu sebagai berikut.
1.
Seratus
ekor unta, seribu dinar emas atau dua belas ribu dirham perak. Menurut sumber
yang sama, pendapat seperti ini pun dikeluarkan oleh Asy-Syafi’i dalam qaul
qadim-nya. Akan tetapi, berbeda dalam qaul jadid-nya, ia hanya
mengharuskan unta, sedangkan emas dan perak disandarkan pada harga unta
tersebut.
2.
Khusus
pembunuhan tidak disengaja, Al-Qur’an mengharuskan pelaku memerdekakan seorang
hamba sahaya yang mukmin sebagai kafarat. Apabila tidak didapati hamba sahaya,
dia harus berpuasa dua bulan berturut-turut, sebagai hukuman pengganti, seperti
diterangkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 92.
Dalam zahir ayat tersebut, kafarat
diharuskan pada pembunuhan karena khilaf. Menurut riwayat, jenis hukuman ini
juga berlaku bagi pembunuhan semisengaja karena bentuknya menyerupai
kekhilafan. Asy-Syafi’i mewajibkan kafarat untuk pembunuhan sengaja. Ia berkata
“Sesunggguhnya kafarat itu wajib dalam pembunuhan sengaja, apabila kafarat
itu diwajibkan pada pembunuhan tidak disengaja yang pada hakikatnya tidak
berdosa, apalagi bagi pembunuhan sengaja dan semisengaja yang jelas tampak
berat dosanya dan ini lebih utama.”
Abu Hanifah berpendapat lain yang
pada intinya dapat disimpulkan, baik kafarat maupun qisas secara tegas
digariskan dalam Al-Qur’an untuk setiap peruntukkannya. Qisas bagi pembunuhan
sengaja, sedangkan kafarat untuk pembunuhan karena khilaf.
Dalam hal orang yang menerima
kafarat, Asy-Syafi’i mengatakan bahwa kafarat dijatuhkan bagi setiap warga
negara, baik muslim maupun bukan, termasuk kafir dzimmi dan mereka yang
meminta perlindungan karena perjanjian, kecuali kafir harby.
Adapun Abu Hanifah berpendapat, kafarat hanya diwajibkan bagi muslim yang sudah
baligh, sebab kafarat itu pada hakikatnya merupakan ibadah atau hukuman yang
berbentuk ibadah, sedangkan orang selain Islam tidak diwajibkan sesuatu yang
bersifat ibadah. Demikian juga anak-anak dan orang gila.
Hukuman pokok bagi pelaku jarimah
pembunuhan tidak sengaja dan pembunuhan semisengaja adalah diyat dan kafarat,
sedangkan hukuman penggantinya adalah ta’zir dan berpuasa dua bulan
berturut-turut. Seperti halnya pembunuhan sengaja, dalam pembunuhan tidak
sengaja dan pembunuhan semisengaja pun disediakan hukuman tambahan, yaitu
terputusnya garis waris dan terhalangnya wasiat. Pemberian hukuman tambahan
berupa terputusnya hak waris dan wasiat bagi kedua jenis pembunuhan ini
kemungkinan merupakan pemahaman dan keumuman kata pembunuhan (al-qatil)
dalam hadis di atas, yang memungkinkan masuknya semua jenis pembunuhan.
Untuk penganiayaan tidak sengaja,
menurut Ahmad Hanafi, Rasulullah SAW. telah menetapkan batas-batas hukum diyat.
Pertimbangannya dilihat pada anggota badan korban. Bagi anggota badan yang
terdiri atas pasangan, bagi pelaku yang menghilangkan salah satunya dikenai
diyat tidak lengkap atau separuh diyat, yaitu lima puluh ekor unta. Adapun bagi
pelaku yang menghilangkan anggota badan yang hanya terdapat satu dalam tubuh,
dikenai diyat lengkap, yaitu seratus ekor unta. Termasuk di dalamnya adalah
hukuman diyat yang berkaitan dengan menghilangkan fungsi anggota badan,
walaupun badannya tidak hilang, misalnya menghilangkan fungsi pendengaran atau
penglihatan dan lain-lain.
6.
Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban
pidana adalah kebebasan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan
perbuatan. Termasuk dalam pertanggungjawaban pidana adalah akibat yang
ditimbulkan dari berbuat atau tidak berbuat yang muncul atas dasar kemauan sendiri
karena pelaku telah menyadari konsekuensi perbuataannya.
Salah satu unsur jarimah
adalah unsur moral sehingga pertanggungjawaban pidana harus meliputi tiga
hal:
1.
Perbuatan
yang dilarang
2.
Kebebasan
dalam berbuat atau tidak berbuat
3.
Kesadaran
bahwa perbuatan itu mempunyai akibat tertentu.
Pertanggungjawaban
pidana atau al-masuliyyah al-jinaiyyah hanya ada jika ketiga hal
tersebut ada di dalam pribadi membuat delik. Jadi, pelakunya harus mukallaf.
Pertanggungjawaban pidana ini tidak hanya bagi individu tetapi juga berlaku
bagi badan hukum. Akan tetapi, karena badan hukum tidak berbuat secara langsung
mempertanggungjawabkan perbuatannya, pertanggungjawaban dikenakan kepada orang
yang mewakili badan hukum tersebut.
Hukuman
dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan terciptanya ketertiban dan ketenteraman
masyarakat. Hukuman yang merupakan beban tanggung jawab pidana, dipikulkan
kepada pembuat jarimah untuk terciptanya tujuan tersebut. Untuk itu,
harus ada kesesuaian antara hukuman sebagai beban dengan kepentingan
masyarakat.
Untuk terciptanya
tujuan tersebut, hukuman harus:
1.
Memaksa
seseorang untuk tidak mengulanginya lagi
2.
Menghalangi
keinginan orang lain untuk melakukan hal yang serupa
3.
Sanksi
yang diterima pembuat jarimah harus bersesuaian dengan hasil perbuatannya,
artinya berkeadilan
4.
Sanksi
hendaknya merata tanpa pertimbangan yang menunjukkan derajat kemanusiaan, kaya,
miskin, pejabat, dan orang biasa, semuanya dianggap sama di mata hukum
5.
Hukuman
harus diterima pembuat jarimah, tidak diberat dan tidak memberati,
selain pembuat jarimah karena adanya pertalian geneokologis,
kekeluargaan. Artinya hanya bertanggung jawab sendiri atas apa yang diperbuat
tanpa membebani atau dibebani orang lain.
Besar kecilnya
hukuman yang diberikan kepada pelaku jarimah, selain ditentukan oleh
akibat yang ditimbulkan, juga ditentukan oleh hal-hal lain yang terdapat dalam
diri pembuat tindak pidana. Karena perbuatan melawan adakalanya disepakati
nersama-sama, langsung atau tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja, dan
lain-lain. Adanya perbedaan bentuk-bentuk perlawanan terhadap hukum
mengakibatkan adanya tingkatan dalam pertanggungjawaban pidana.
7.
Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggung
jawaban pidana dapat terhapus karena adanya sebab-sebab, baik yang berkaitan
dengan perbuatan si pelaku tindak pidana maupun sebab-sebab yang berkaitan
dengan keadaan pembuat delik. Selanjutnya, perbuatan-perbuatan yang termasuk
kedalam kategori kedua, yang berhubungan dengan kondisi pelaku karena perbuatan
itu sendiri merupakan suatu perbuatan yang dilarang melakukannya, namun
pelakunya tidak dijatuhi hukuman karena keadaan yang ada di dalam dirinya.
Mengenai
jenis yang pertama, yaitu terhapusnya hukuman karena perbuatan itu sendiri,
diantaranya sebagai berikut :
- Pembelaan yang sah.
- Pengajaran
1) Pengajaran terhadap istri
2) Pengajaran terhadap anak kecil
- Pengobatan
- Olahraga
- Hilangnya jaminan keselamatan
- Karena perintah jabatan
Adapun
mengenai terhapusnya pertanggung jawaban pidana atau terhapusnya hukuman karena
berkaitan dengan kondisi pelaku atau berkaitan dengan keadaan si pelaku
terdapat dalam empat keadaan.
- Karena paksaan
- Karena gila
- Karena mabuk
- Karena belum dewasa.
8.
Pembatalan Hukuman
Pembatalan hukuman adalah tidak dapat dilakukannya suatu putusan
pengadilan yang telah dijatuhkan berkenaan berbagai sebab, baik sebab itu pada
diri terhukum maupun usaha-usaha terhukum, atau berkaitan dengan masalah waktu
hukuman. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara terhapusnya hukuman dengan
pembatalan hukuman. Pada terhapusnya hukuman, tidak terdapat pertanggung
jawaban pidana, karena pakarnya tidak diproses sehingga tidak ada keputusan
hakim. Adapun pada pembatalan hukuman, pertanggung jawaban pidana itu ada
dantelah diproses di pengadilan sehingga terdapat keputusan hakim. Namun karena
sebab-sebab seperti tersebut diatas, keputusan tersebut tidak dapat
dilaksanakan kepada terhukum.
Berikut ini beberapa hal atau perbuatan yang dapat menyebabkan terjadinya
pembatalan hukuman :
a)
Meninggalnya
si pembuat jarimah. Hukuma mati yang ditetapkan kepada
si pelaku menjadi batal pelaksanaannya bila si pelakunya meninggal. Namun,
hukuman yang berupa harta seperti denda , diyat, dan perampasan harta dapat
terus dilaksanakan.
b)
Hilangnya
anggota badan yang dijatuhi hukuman. Dalam kasus jarimah
qishash, hukum berpindah kepada hukuman diyat.
c)
Bertobat,
menurut para ulama tobat ini hanya ada pada jarimah hirabah.
Namun mereka juga memberikan keleluasaan bagi ulil amri untuk memberikan
sanksi ta’zir demi kemaslahatan umum.
d)
Korban
(dalam hal masih hidup) dan wali/ahli waris (dalam hal korban mati),
memaafkannya (dalam qishash-diyat) ataupun ulul amri dalam kasus ta’zir yang
berkaitan dengan hak perseorangan.
e)
Adamya
upaya damai antara pelaku dengan korban atau wali/ahli waris dalam kasus
jarimah qishash/diyat.
f)
Lewatnya
waktu tertentu dalam pelaksanaan hukuman. artinya
pelaksanaan keputusan yang seharusnya dilaksanakan kepada si terhukum tidak
dapat dilaksanakan karena berbagai sebab, sehingga masa berlakunya habis atau
kadaluarsa.
9.
Ta’zir
Secara
etimologis, berarti menolak atau mencegah. Hukuman tersebut bertujuan mencegah
yang bersangkutan mengulangi kembali perbuatannya dan menimbulkan kejeraan
kepada pelaku. Dalam fiqih jinayah, pengertian ta’zir adalah bentuk hukuman
yang tidak disebutkan ketentuan kadar hukumnya oleh syara’ dan penentuan
hukumnya menjadi kekuasaan hakim.[22]
Jenis
hukuman ta’zir bervariasi, di antaranya adalah sebagai berikut.
a. Hukuman
Mati. Misalnya koruptor
dihukum gantung.
b. Hukuman
penjara. Hukuman
ini mutlak dikategorikan sebagai ta’zir.
c. Hukuman Jilid, cambuk dan yang sejenisnya.
d. Hukuman pengasingan
e. Hukuman pencemaran nama baik, yaitu berupa
disebarluaskan kejahatannya oleh berbagai media.
f.
Hukuman denda berupa harta
g. Hukuman kaffarat. Karena pelaku
berbuat maksiat, misalnya berpuasa dua bulan berturut-turut, memberi makan
fakir miskin, memerdekakan hamba sahaya, dan memberi pakaian kepada orang yang
membutuhkan.[23]
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Jinayah adalah
perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena dapat menimbulkan kerugian atau
kerusakan agama, jiwa, akal,dan harta benda. Adapun hukum pidana islam atau jinayah
adalah hukum pidana yang ada dalam lingkup hukum islam, terjemahan dari
konsep ‘uqubah, jarimah, dan jinayah.
Jinayah
adalah
masdar (kata asal) dari kata kerja (fi’il madhi) janaa yang
mengandung arti suatu kerja yang diperuntukkan bagi satuan laki-laki yang telah
berbuat dosa atau salah. Pelaku kejahatan itu sendiri disebut dengan jaani
yang merupakan bentuk mufrod bagi satuan laki-laki atau bentuk mufrad
mudzakkar sebagai pembuat kejahatan atau isim fa’il. Adapun sebutan
pelaku kejahatan wanita adalah jaaniah, yang artinya seorang
wanita yang berbuat dosa. Orang yang menjadi sasaran atau objek perbuatan si jaani
atau si jaaniah atau mereka yang terkena dampak dari perbuatan si
pelaku dinamai mujnaa alaih atau korban.
Hukum pidana dalam
islam disebut Al-‘Uqubaat dari kata tersebut meliputi hal-hal yang
merugikan atau tindak kriminal.
Secara
terminologis Hudud adalah hukuman yang telah ditetapkan Syari’at untuk mencegah
kejahatan.
Kata qisas dalam
hadis disebut dengan kata qawad, maksudnya adalah semisal, seumpama (al-mumatsilah).
Adapun maksud yang dikehendaki syara’ adalah kesamaan akibat yang ditimpakan
kepada pelaku tindak pidana yang melakukan pembunuhan atau penganiayaan
terhadap korban.
Diyat dalam arti jarimah
adalah perbuatan yang dilakukan seseorang terhadap objek jiwa dan anggota
badan, baik perbuatannya mengakibatkan kematian, hanya mengakibatkan luka,
maupun tidak berfungsinya anggota badan korban, yang dilakukan tanpa sengaja
atau semisengaja.
Ta’zir
adalah bentuk hukuman yang tidak disebutkan ketentuan kadar hukumnya oleh
syara’ dan penentuan hukumnya menjadi kekuasaan hakim
2.
Saran
Besar harapan kami, semoga makalah
ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan kita semua sebagai mahasiswa. Serta
meningkatkan kecintaan dan sebagai pendorong daya tarik kita dalam memahami
tentang apa saja Hukum Pidana Islam. Kami menyadari bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik
yang membangun sangat kami harapkan sebagai perbaikan dalam penyusunan makalah
berikutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasan, Mustofa, Beni Ahmad Saibani, Hukum
Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung
: Pustaka Setia 2013.
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih
Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2000
Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum
Allah, Jakarta : PT RajaGrasindo Persada,
2002
[1] Mustofa
Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung :
Pustaka Setia 2013. Hal. 13
[2] Rahmat
Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2000.
Hal. 12
[3]Mustofa
Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung :
Pustaka Setia 2013. Hal. 16
[4] Rahmat
Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2000.
Hal. 13
[5] Mustofa
Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung :
Pustaka Setia 2013. Hal. 15
[6]Rahmat
Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2000.
Hal. 14-15
[7] Mustofa
Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung :
Pustaka Setia 2013. Hal. 115-116
[8] Mustofa
hasan, Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah) ,h.117.
[9] Mustofa
Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung :
Pustaka Setia 2013. Hal. 118
[10] Mustofa
Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung :
Pustaka Setia 2013. Hal. 120
[11] Mustofa
Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung :
Pustaka Setia 2013. Hal. 127-128
[12] Mustofa
Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung :
Pustaka Setia 2013. Hal. 132
[13] Mustofa
hasan, beni ahmad saebani , “hukum pidana islam fiqh jinayah”
,h.135-138.
[14] Rahmat
Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2000.
Hal. 12
[15] Mustofa
Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung :
Pustaka Setia 2013. Hal.23
[16] Mustofa
Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung :
Pustaka Setia 2013. Hal. 168
[17] Rahman,
Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, Jakarta : PT RajaGrasindo Persada,
2002. Hal. 288-289
[18] Rahmat
Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2000.
Hal. 59
[19] Rahmat
Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2000.
Hal. 63-66
[20] Mustofa
Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung :
Pustaka Setia 2013. Hal. 45
[21] Dr.
Mardani Hukum Pidana Islam, hal. 10
[22] Mustofa
Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung :
Pustaka Setia 2013. Hal.593
[23] Mustofa
Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung :
Pustaka Setia 2013. Hal.595-596
Tidak ada komentar:
Posting Komentar