Kamis, 09 April 2020

Makalah Fiqh B - Hukum Pidana Islam


Mata Kuliah
Dosen Pengampu
Fiqh B
Dr. H. M. Quzwini, M.Ag

HUKUM PIDANA ISLAM
Oleh:
Kelompok 1
NAMA

NPM
Abdul Hamid
:
18.12.4418
Ari Maulana
:
18.12.4439
Aulia Sari
:
18.12.4442
Akbar Rifa’i
:
18.12.4432
Muhammad Mirwan
:
18.12.4536
Muhammad Badali
:
18.12.4521

INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM MARTAPURA
FAKULTAS TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2019

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan taufik dan hidayah-Nya jualah kami mampu menyelesaikan makalah Fiqh B yang berjudul “Hukum Pidana Islam”.Sholawat dan salam senantiasa kita curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta seluruh keluarga beliau, sahabat-sahabat beliau, dan para pemgikut beliau dari dulu, sekarang dan masa akan datang.
Di dalam penyajian makalah ini, kami berusaha menyajikan dalam bentuk yang sederhana, agar mudah dalam menelaah dan memahaminya. Kami berharap dapat bermanfaat tidak hanya untuk penyusun pada khususnya, tetapi pembaca pada umumnya.
Kami menyadari keterbatasan yang terdapat di dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kami berharap kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak, terutama dari bapak Dr. H. M. Quzwini, M.Ag, sebagai dosen pembimbing mata kuliah Fiqh B demi menyempurnakan isi, cara penulisan, dll.
Akhir kata, kami ucapkan terimakasih kepada para penerbit dan pengarang buku, serta situs internet dalam mengikat pembahasan yang bersentuhan langsung dengan topik yang kami susun.


Martapura, 05-November-2019
Penulis :


Kelompok  1


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang............................................................................ 1
2.      Tujuan Penulisan......................................................................... 1
3.      Rumusan Masalah....................................................................... 1
B.     LANDASAN TEORITIS
1.      Pengertian................................................................................... 2
2.      Dasar Hukum.............................................................................. 4
C.     MATERI POKOK
1.      Jinayah...................................................................................... 11
2.      Al-‘Uqubat................................................................................ 16
3.      Hudud........................................................................................ 19
4.      Qishas........................................................................................ 20
5.      Diyat.......................................................................................... 23
6.      Pertanggungjawaban Pidana..................................................... 26
7.      Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana.................................... 27
8.      Pembatalan Hukum................................................................... 28
9.      Ta’zir......................................................................................... 29
D.    PENUTUP............................................................................................... 2
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN


A.    PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang
            Hukum pidana Islam berasal dari peraturan Allah SWT. yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kedudukan hukum pidana Islam sangat mendukung eksistensi Islam di tengah kemajemukan masyarakat dalam pergaulan dunia internasional. Terlebih lagi jika hukum pidana Islam mampu diterapkan dalam kehidupan masyarakat, khususnya di negara yang penduduknya mayoritas muslim atau sekurang-kurangnya materi hukum ini menjadi bagian dari hukum pidana nasional Indonesia.
            Tujuan pemidanaan adalah menimbulkan efek jera kepada pelaku jarimah, sehingga tidak mengulangi perbuatannya dan orang lain tidak menirunya.
            Pada karya ilmiah ini, kami akan membahas lebih mendalam tentang bagaimana Hukum Pidana Islam. Selain itu karya ilmiah ini juga disusun untuk mengetahui bagaimana  proses hukum pidana itu sendiri.
2.    Tujuan Penulisan
1.  Mengetahui Pengertian Jinayah
2.  Mengetahui apa itu Al-‘Uqubat
3.  Mengetahui apa itu Hudud
4.  Mengetahui apa itu Qishas
5.  Mengetahui apa itu Diyat
6.  Mengetahui bagaimana Pertanggungjawaban Pidana
7.  Mengetahui Mengapa Terjadi Penghapusan Pertanggungjawaban Pidana
8.  Mengetahui apa ituTa’zir
3.    Rumusan Masalah
1.  Apa pengertian dari Jinayah?
2.  Apa itu Al-‘Uqubat?
3.  Apa itu Hudud?
4.  Apa itu Qishas?
5.  Apa itu Diyat?
6.  Bagaimana Pertanggungjawaban Pidana?
7.  Mengapa Terjadi Penghapusan Pertanggungjawaban Pidana?
8.  Apa itu Ta’zir?

B.     LANDASAN TEORITIS
1.    PENGERTIAN
            Konsep jinayah berasal dari kata jana, yajni yakni berarti kejahatan, pidana, atau kriminal. Jinayah adalah perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena dapat menimbulkan kerugian atau kerusakan agama, jiwa, akal,dan harta benda. Adapun hukum pidana islam atau jinayah adalah hukum pidana yang ada dalam lingkup hukum islam, terjemahan dari konsep ‘uqubah, jarimah, dan jinayah.
            Istilah pidana dalam kamus umum bahasa Indonesia berarti kejahatan atau kriminal, seperti pembunuhan, perampokan, korupsi, dan lainnya. Menurut Moeljanto, hikum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan pidana yang berlaku di negara tertentu.[1]
            Dalam mempelajari Fiqih Jinayah, ada dua istilah penting yang terlebih dulu harus dipahami sebelum mempelajari materi selanjutnya. Pertama adalah istilah jinayah itu sendiridan kedua adalah jarimah. Jinayah artinya perbuatan dosa, perbuatan salah atau jahat. Jinayah adalah masdar (kata asal) dari kata kerja (fi’il madhi) janaa yang mengandung arti suatu kerja yang diperuntukkan bagi satuan laki-laki yang telah berbuat dosa atau salah. Pelaku kejahatan itu sendiri disebut dengan jaani yang merupakan bentuk mufrod bagi satuan laki-laki atau bentuk mufrad mudzakkar sebagai pembuat kejahatan atau isim fa’il. Adapun sebutan pelaku kejahatan wanita adalah jaaniah, yang artinya seorang wanita yang berbuat dosa. Orang yang menjadi sasaran atau objek perbuatan si jaani atau si jaaniah atau mereka yang terkena dampak dari perbuatan si pelaku dinamai mujnaa alaih atau korban.[2]
            Dr. Abdul Kadir Audah dalam kitabnya At-Tasyri Al-Jina’i Al-Islamiy menjelaskan arti kata jinayah sebagai berikut:
الجناية لغة : اسم لما يجنيه المرء من شر ما اكتسبه. و اصطلاحا : اسم لفعل محرم شرعا سواء وقع الفعل على نفس أو مال أو غير ذلك
Artinya: “Jinayah menurut bahasa merupakan nama bagi suatu perbuatan jelek seseorang. Adapun menurut istilah adalah nama bagi suatu perbuatan yang diharamkan Syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta benda, maupun selain jiwa dan harta benda.
            Jadi, jinayah adalah setiap tindakan negatif yang menimpa jiwa manusia atau anggota badannya, misalnya pembunuhan, perampokan, dan lainnya.[3]
            Menurut aliran (mazhab) Hanafi, ada pemisahan dalam pengertian jinayah ini. Kata jinayah  hanya diperuntukkan bagi semua perbuatan yang dilakukan manusia dengan objek anggota badan dan jiwa saja, seperti melukai atau membunuh. Adapun perbuatan dosa atau perbuatan salah yang berkaitan dengan objek atau sasaran atau sasaran barang atau harta benda, dinamakan ghasab. Jadi, pembahasan tentang jinayah dikhususkan bagi kejahatan terhadap jiwa dan anggota badan, sehingga masalah yang terkait dengan kejahatan terhadap benda diatur pada bab tersendiri. Adapun aliran atau mazhab lain, seperti aliran Asy-Syafi’i, Maliki, dan Ibnu Hambal, tidak mengadakan pemisahan antara perbuatan jahat terhadap jiwa dan anggota badan dengan kejahatan terhadap harta benda (pencurian dan kejahatan terhadap harta benda lainnya). Oleh karena itu, pembahasan keduanya (kejahatan terhadap anggota badan, jiwa dan harta benda) diperoleh dalam jinayah.[4]
            Istilah yang kedua adalah jarimah. Pada dasarnya, kata jarimah mengandung arti perbuatan buruk, jelek atau dosa. Jadi, pengertian jarimah secara harfiah sama halnya dengan pengertian jinayah.
            Adapun pengertian jarimah secara terminologi hukum Islam atau Fiqih adalah sebagai berikut.
وَالْجَرَائِمُ : مَحْظُوْرَاتٌ بِالشَّرْ عِ , زَجَرَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَابِحَدٍ أَوْ تَعْزِيْرُ .
Jaraim (tindakan kriminal) adalah semua tindakan yang diharamkan oleh syariat. Allah ta’ala mencegah terjadinya tindakan kriminal dengan menjatuhkan hudud atau ta’zir kepada pelakunya.[5]
            Jarimah biasa dipakai sebagai perbuatan dosa, baik berupa bentuk, macam, atau sifat dari perbuatan dosa tersebut. Misalnya pencurian, pembunuhan, perkosaan atau perbuatan yang berkaitan dengan politik dan sebagainya. Semua itu kita sebut dengan istilah jarimah yang kemudian dirangkaikan dengan satuan atau sifat perbuatan tadi. Oleh karena itu, kita menggunakan istilah jarimah pencurian, jarimah pembunuhan, jarimah perkosaan, jarimah politik. Bukan istilah jinayah pencurian, jinayah pembunuhan, jinayah perkosaan dan jinayah politik.
            Adapun dalam pemakaiannya, kata jinayah lebih mempunyai arti umum (luas), yaitu ditujukan bagi segala sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan kejahatan manusia dan tidak ditujukan bagi satuan perbuatan dosa tertentu. Oleh karena itu, pembahasan fiqih yang memuat masalah-masalah kejahatan, pelanggaran yang dikerjakan manusia, dan hukuman yang diancamkan kepada pelaku perbuatan disebut Fiqih Jinayah, bukan istilah Fiqih Jarimah.[6]
2.    DASAR HUKUM
a.       Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Pertama
                        Semua ulama sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber ajaran Islam, sekaligus sumber hukum Islam yang pertama dan yang paling utama. Landasan dan dalil bahwa Al-Quran sebagai sumber hukum pertama dalam Islam adalah banyaknya ayat Al-Quran yang menetapkan demikian. Al-Quran sebagai sumber dari segala sumber hukum menjadi ide dasar lahirnya hukum dan peraturan yang berhubungan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan, termasuk persoalan yang memerlukam ijtihad para ulama. Dalil-dalil yang digali dari Al-Quran mayoritas bemifat kulliyat atau umum dapat ditakhsiskan atau terdapat dam juz iyah yang mengkhususkan perihal hukum tertentu, baik oleh ayat Al Quran maupun oleh hadis.[7]
            Beberapa firman Allah dalam Al-Quran yang menyatakan bahwa al- Qur’an sumber utama bagi ketentuan hukum Islam adalah sebagai berikut.
1)                  Surat Al- Isr’a ayat 9:
إِنَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ يَهۡدِي لِلَّتِي هِيَ أَقۡوَمُ وَيُبَشِّرُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمۡ أَجۡرٗا كَبِيرٗا
Sungguh, Al-Quran ini memberikan petunjuk ke(jalan) yang paling Iurus dan memberi  kabar gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar. (Q.S. Al-Isra' [17]: 9)
            Ayat tersebut menegaskan bahwa Al-Quran merupakan petunjuk bagi orang-orang yang beriman. Menurut ulama ushul fiqh, ayat itu dapat dimaknai bahwa Al-Quran menjadi patokan atau kaidah dan tatanan hukum untuk manusia dalam menjalankan kehidupan dengan baik dan benar menurut peraturan atau hukum hukum Allah SWT. Al-Quran adalah karya mukjizati dari Allah SWT.[8]
2)                  Surat Al-Baqarah ayat 1 -2:
الٓمٓ ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ 
  Alif laam miim. Kitab (A1 Quran) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 1-2).
            Modal dasar keyakinan atas Al-Quran adalah keimanan, sebagai fondasi  ketakwaan, sedangkan ketakwaan yang sempuma harus didasarkan pada keyakinan bahwa Al-Quran sebagai petunjuknya.[9]
            Ayat –ayat hukum yang terdapat dalam Al-Quran terdiri atas ayat-ayat yang memerintah, melarang, menganjurkan, dan memberikan berbagai pilihan untuk umat manusia. Gambaran bahwa al- Quran sebagai sumber hukum islam berkaitan dengan perintah-perintah Allah yang mewajibkan umat islam melaksanakan adalah sebagai berikut.
1)                  Ayat  yang berkaitan dengan pemerintah menegakkan keadilan dan menjalankan amanah, dalam surat An-Nahl ayat 90:
إنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَٰنِ وَإِيتَآيِٕ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِ وَٱلۡبَغۡيِۚ يَعِظُكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ
  Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Q.S. An-Nahl [16]: 90)
2)                  Surah An-Nisa ayat 57:
وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ سَنُدۡخِلُهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدٗاۖ لَّهُمۡ فِيهَآ أَزۡوَٰجٞ مُّطَهَّرَةٞۖ وَنُدۡخِلُهُمۡ ظِلّٗا ظَلِيلًا 
 Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang shaleh, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai; kekal mereka di dalamnya; mereka di dalamnya mempunyai isteri-isteri yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman.(Q.S. An-Nisa [4]: 57)
Dua ayat diatas menunjukkan bahwa Al-Quran menyuruh umat manusia, terutama yang beriman agar menegakkan hukum dengan adil dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.[10]
b.                  As-Sunnah Sumber Hukum Islam Kedua
            Sunnah merupakan Sumber hukum kedua setelah Al-Quran, didasarkan pada ayat-ayat Allah berikut ini. Surat An-Nisa' ayat 59:
ياأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا 
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.  (Q.S. An-Nisa [4]: 59)[11]
            Ayat Al-Quran yang dikemukakan di atas adalah dalil yang qath’i dillalah, yang menyatakan hal-hal berikut:
1)                  Rasulullah SAW. adalah manusia pilihan Allah yang senantiasa dijaga dari berbagai bentuk kesalahan atau ma’shum sehingga semua yang merupakan sunnahnya wajib dikuti dan dijadikan sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran
2)                  Semua perilaku Rasulullah SAW. merupakan suri teladan bagi  manusia yang beriman. Oleh karena itu sunnah-sunnah fi’liyah hanya merupakan pedoman kehidupan dan sumber hukum Islam
3)                  Ketetapan hukum yang tidak ditemukan dalam Al-Quran dapat dicari pada As-Sunnah sebagai sumber hukum kedua
4)                  Umat Islam yang taat kepada Rasulullah SAW adalah umat Islam yang menjalankan sunnahnya
5)                  Taat kepada Rasul secara otomatis taat kepada Allah yang mengutusnya.
            Dalam kajian ushul fiqh, As-Sunnah merupakan metode untuk menjelaskan Al-Quran. Oleh karena itu, fungsi dari As-Sunnah adalah penjelas, penafsir, penguat, penambah, dan pengkhusus berbagai hukum yang terdapat dalam Al-Quran yang masih global atau masih mutitafsir dan ada pula yang masih mubham atau bermakna samar.[12]
c.                   Ijma’ sebagai Sumber Hukum yang Ketiga
            Secara terminologis, ijma' adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma' umat Nabi Muhammad SAW terhadap hukum syara' dalam suatu masa setelah beliau wafat. Kata "dari umat Muhammad SAW" adalah ijma' para mujtahid umat Muhammad, sekaligus mengecualikan kesepakatan para mujtahid yang bukan dari umat Muhammad SAW, misalnya umat Nabi Isa, umat Nabi Musa, dan selainnya.
            Dari definisi ini dapat ditarik pemahaman bahwa ijma' merupakan:
1.                  Kesepakatan seluruh mujtahid dari ijma' umat Muhammad SAW
2.                   Ijma’ dilakukan dalam suatu masa setelah Rasulullah SAW wafat
3.                   Ijma’ berkaitan dengan hukum syara’.
            Ada berbagai macam ijma', antara lain sebagai berikut:
1.                  Ijma’ qauli atau ijma’ sharih, yaitu ijma’ yang dikeluarkan oleh para mujtahid secara lisan ataupun tulisan yang mengeluarkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain pada zamannya. Ijma’ ini disebut sebagai ijma’ bayani atau ijma’  qath’i.
2.                  Ijma’ sukuti atau ijma’ ghair sharih, yaitu ijma’ yang dikeluarkan oleh para mujtahid dengan cara diam, tidak mengeluarkan pendapatnya yang diartikan setuju atas pendapat mujtahid lain.
3.                  Ijma’ sahabat, yaitu ijma’ yang dikeluarkan oleh para sahabat.
4.                  Ijma’ khalifah yang empat.
5.                  Ijma’ Abu Bakar dan Umar.
6.                  Ijma’ ulama Madinah.
7.                  Ijma’ ulama Kufah dan Basrah
8.                  Ijma’ itrah (ahl aI-bait atau kaum syi'ah).
            Menurut ulama Hanafiyah, ijma’ yang sebenarnya hanya ijma’ qauli dan ijma’ sukuti. Adapun ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa hanya ijma’ qauli yang dipandang sebagai ijma’. Mujtahid yang dinyatakan benar-benar ijma’ hanya sahabat. Oleh karena itu, selain ijma’ sahabat berarti bukan ijma’ yang sesungguhnya yang dapat dijadikan sumber hukum atau dalil Kalaupun disebut ijma’, tidak dapat dijadikan hujjah syar’iyah.[13]
d.                  Qiyas Sumber Hukum Keempat
            Qiyas berasal dari kata qasa, yaqisu, qaisan, artinya mengukur dan ukuran. Kata qiyas diartikan ukuran sukatan, timbangan, dan lain-lain yang searti dengan itu, atau pengukuran sesuatu dengan yang lain atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenis.
            Qiyas diartikan pula dengan at-taqdir wa aI-taswiyah, artinya menduga dan mempersamakan.
            Jadi, qiyas adalah menetapkan hukum perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya. Diartikan pula sebagai proses pemindahan hukum yang terdapat pada pokok ke cabang (dari ashl ke furu') karena adanya illat hukum yang sama, dan atau adanya illat yang tidak dapat diketahui dengan pendekatan kebahasaan (logika lingustik).
            Dalam kitab At-Tasyri Al-Jina’i karya Abdul Qodir Audah terdapat beberapa terma yang menunjukkan pengertian titik tolak atau dasar-dasar hukum pidana Islam. Misalnya, terma ad-daim, al-asas, mabadi, nazhariyyat, al-ashl dan al-qaidah.
            Abdul Qadir Audah menjelaskan bahwa Akhlak Fadilah merupakan pondasi utama dari masyarakat Islam, karena itu setiap pelanggaran akhlak berat sanksinya. Pada halaman yang sama Abdul Qadir Audah menyatakan, “Syariat mengakui akhlak terpuji sebagai pondasi utama bagi masyarakat. Karena itu, ia mendorong pemeliharaan akhlak dengan cara memberi sanksi pada setiap perbuatan yang berkenaan dengan akhlak.”
            Dengan demikian, yang dimaksud dengan ad-da’imah atau ad-da’aim adalah  norma induk (grand norm) bagi norma-norma yang ada di bawahnya. Menurutnya, norma akhlak sebagai pembeda yang mendasar antara hukum pidana Islam dengan hukum pidana lain. Umpamanya status hukum zina dan minuman keras. Syariat Islam memberikan hukuman keras terhadap perbuatan zina dalam bentuk apapun karena zina dipandang sebagai pelanggaran hukum (jarimah) yang menyangkut akhlak. Apabila akhlak rusak, masyarakat akan rusak dan mengalami kehancuran. Begitupula, keharaman minuman keras.
            Status hukum zina dan minuman keras berbeda dalam pandangan hukum diluar Islam. Perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan zina bila salahsatu pihak merasa dirugikan dan perbuatan semacam ini hanya bersifat pribadi sehingga termasuk pada delik aduan. Demikian pula dengan status minuman keras bukan hakikat dari pelanggaran hukum. Adapun yang menjadi perbuatan hukum apabila mabuknya mengganggu ketertiban umum.
            Disamping terma ad-da’aim adalah terma al-asas yang secara operasional dipandang identik untuk menunjukkan norma pokok hukum Islam, seperti tertulis dalam teks berikut :
Alasan syariat memerintahkan akhlak pada segi ini karena syariat ini berpijak pada agama. Sesungguhnya agama itu memerintahkan akhlak-akhlak yang baik dan menganjurkan hal-hal yang utama Qanun itu tidak berpijak pada agama.
            Adapun terma mabadi dan terma nazhariyyah yang sementara dipahami sebagai prinsip awal atau teori-teori dasar yang diterapkan secara bersamaan menunjukkan maksud yang sama.

C.    MATERI POKOK
1.      Jinayah (Hukum Pidana Islam)
a.    Pengertian Jinayah
            Jinayah adalah masdar (kata asal) dari kata kerja (fi’il madhi) janaa yang mengandung arti suatu kerja yang diperuntukkan bagi satuan laki-laki yang telah berbuat dosa atau salah. Pelaku kejahatan itu sendiri disebut dengan jaani yang merupakan bentuk mufrod bagi satuan laki-laki atau bentuk mufrad mudzakkar sebagai pembuat kejahatan atau isim fa’il. Adapun sebutan pelaku kejahatan wanita adalah jaaniah, yang artinya seorang wanita yang berbuat dosa. Orang yang menjadi sasaran atau objek perbuatan si jaani atau si jaaniah atau mereka yang terkena dampak dari perbuatan si pelaku dinamai mujnaa alaih atau korban.[14]
b.    Kedudukan Jinayah
            Kedudukan inti hukum pidana Islam terletak pada hal-hal berikut[15]:
1)      Penciptaan keadilan ilahiah dan insaniah
2)      Penciptaan kemanusiaa universal
3)      Penghapusan dosa-dosa duniawi
4)      Pelaksanaan keamanan sejati di dunia
5)      Perwujudan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW
6)      Pelaksanaan lembaga peradilan yang bermartabat dan berkeadilan
7)      Pelaksanaan asas persamaan hak dan kewajiban atas nama hukum
8)      Perwujudan tanggung jawab manusia dalam segala bentuk perbuatan
9)      Perwujudan tujuan hukum, yakni menjerakan pelaku kejahatan.
c.    Tujuan Jinayah
            Hukum pidana Islam merupakan bagian dari hukum Islam, dan tujuan yang terkandung dalam hukum pidana Islam. Para ahli hukum mengatakan bahwa hukum Islam bertujuaan bahwa hukum Islam bertujuan menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia, baik dunia maupun akhiat. Demikinalah pula, tujuan hukum pidana Islam. Ibn Qayyim Al-Jauziyah mengatakan bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan keadilan, bertentangan denga rahmat, bertentengan dengan hikmah dan kemaslahatan, serta menciptakan kehancuran, bukan merupakan citra syariat Islam. Syariat adalah keadilah dari Allah untuk semua hamba-Nya, rahmat untuk makhluk-Nya sebagai pengayoman kehidupan di muka bumi. Oleh karena itu, semangat hukum pidana Islam tidak terlepas dari koridor hukum
d.    Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Islam
            Salah satu unsur hukum pidana Islam adalah unsur formal, yaitu adanya peraturan yang mengatur tindakan yang dinyatakan sebagai perbuatan jarimah atau adanya ketentuan syara’ atau nash yang menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang dinyatakan oleh hukum sebagai sesuatu yang dapat dihukum. Ketentuan tersebut harus sudah ada sebelum perbuatan dilakukan.[16]
e.    Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Islam
            Prinsip secara bahasa adalah permulaan, asal tempat pemberangkatan; titik tolak atau al-mabda. Prinsip yang dimaksud adalah kebenaran universal yang inheren didalam hukum Islam, khususnya hukum pidana Islam (tasyri jina’i) dan menjadi titik tolak pembinaan.
            Prinsip hukum Islam adalah titik tolak pelaksanaan ketetapan Allah yang berkaitan dengan mukalaf, baik yang berbentuk perintah, larangan maupun pilihan. Prinsip yang paling utama adalah ketauhidan, keadilan, dan kemanusiaan.
1)      Prinsip Ketauhidan
Dengan prinsip ketauhidan, semua manusia memiliki hak yang sama untuk berhubungan dengan Allah tanpa perantara, karena Allah tidak pernah pilih bulu sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 186 :
وَاِذَا سَأَلَكَ عِبَادِيْ غَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَالدَّاعِ اِذَا دَعَانِ ۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْالِيْ وَلْيُؤْمِنُوْابِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ۞
Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran. (Q.S. Al-Baqarah [2] 186).
2)      Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan berpijak pada pandangan bahwa seluruh makhluk Allah tercipta dengan keseimbangan. Terlebih manusia diberikan alat untuk mempertahankan keseimbangannya dengan akal dan hati. Nilai-nilai kemanusiaan membangun prinsip persamaan dimata Allah dan sesama manusia. Evaluasi tentang derajat manusia bergantung pada hak prerogatif Allah, yakni ketakwaan, sebagaimana difirmankan dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13 :
يٰٓاَيُّهَاالنَّاسُ اِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِّنْ ذَكَرٍوَّ اُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًاوَّقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوْا ۗ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ اَتْقٰكُمْ ۗ اِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ۞
Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bagsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sugguh, Allah maha Mengetahui, maha Teliti. (Q.S. Al-Hujurat [49]: 13).
3)      Prinsip Kemanusiaan
Prinsip kemanusiaan membangun al-musawwah antara kaum kafir dan kaum yang kaya. Hukum Islam tidak membenarkan upaya diskriminatif antara kaum borjuis dan proletar. Semua manusia bergantung pada amal perbuatannya. Allah akan membalasnya meskipun hanya sebesar biji sawi. Sebagaimana dikemukakan dalam Al-Qur’an surat Az-Zalzalah ayat 7-8:
فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗ ۞ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّايَّرَهٗ ۞
Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (Q.S. Az-Zalzalah [99] : 7-8)
Karena menjadi titik tolak pelaksanaan hukum Islam, tiga prinsip tersebut merupakan “nenek moyang” prinsip-prinsip lainnya. Ketauhidan sebagai produk dari keyakinan manusia kepada Allah yang dilegalisasi oleh dalil naqli dan pemahaman filosofis tentang falsafah wujud. Keadilan merupakan salahsatu sifat mutlak yang dikuasai oleh Allah. Demikian pula, kemanusiaan. Allah tidak pernah memilih-milih dan memilah-milah dalam menciptakan manusia, memberi rezeki, memberi kekuatan, dan kehendak dalam diri manusia. Seluruhnya diberi dengan adil tanpa membayar sepeserpun. Semua manusia diberi akal untuk berpikir. Dengan pikirannya, manusia mampu membedakan yang baik dan yang buruk.
4)      Prinsip Persamaan Hak dan Kewajiban
Untuk menyebarluaskan prinsip persamaan hak dan kewajiban, dalam hukum Islam ditanamkan prinsip amr ma’ruf nahy al-munkar. Dengan demikian, semua umat Islam berkewajiban memberikan contoh yang patut diteladani dan mengaja pada kebenaran. Allah menyatakan hal itu dalam Al-Qur’an surat Asy-Syu’ara ayat : 38
وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ وَاَقَامُواالصَّلٰوةَ وَاَمَرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْ وَمِمَّارَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ۞
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (Q.S. Asy-Syura [42]:38)
Akan tetapi, kewajiban amar ma’ruf nahy munkar harus merujuk pada prinsip toleransi dan tidak ada paksaan, sehingga kebenaran harus diterima dengan kesadaran yang tinggi dari pemeluk ajaran Islam.
5)      Prinsip toleransi
Prinsip toleransi sebenarnya berkaitan dengan prinsip kemerdekaan (al-hurriyah). Manusia diberikan kebebasan bergerak dan bertindak sepanjang tidak melakukan kerusakan dan merugikan masyarakat umum atau hak-hak orang lain. Bebas bukan berarti memaksakan kehendak agar akidah orang lain berpindah. Kemerdekaan adalah kebebasan menjalankan hukum-hukum Allah. Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 265, Allah SWT berfirman :
فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدِاسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِالْوُثْقٰى لاَانْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ۞
tidak ada paksaan untuk (menganut) agama (Islam) sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah maha Mendengar, maha Mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 256)
Meskipun berbeda agama, dalam kehidupan sosial, manusia diperintah oleh ajaran agama dan hukum Islam untuk hiudp bergotong royong. Menjalin kehidupan bersama dan saling menolong dengan sesama manusia sehingga prinsip kemerdekaan berhubungan langsung dengan prinsip al-ta’awun dalam hukum Islam.
f.     Unsur-Unsur Jarimah
            Untuk dianggap atau dikategorikan suati jarimah, suatu perbuatan harus memiliki beberapa persyaratan atau beberapa unsur. Unsur-unsur tersebut adalah:
1)      Unsur Formal (Rukun Syar’i)
Unsur formal adalah ketentuan hukum syara’ (nash) yang menyatakan perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum. Unsur ini mencakup dua pokok :
a)      Ketetapan hukum syara’ tentang segala perbuatan yang dapat dihukum (jarimah) dan sanksi-sanksinya (‘uqubah). Bagian ini terdiri atas kaidah-kaidah pokok hukum jinayah, sumber hukum, penafsiran hukum, kontradiksi hukum, dan hubungan hukum pidana Islam dengan hukum pidana umum.
b)      Memberlakukan ketetapan-ketetapan hukum pidana Islam dalam dimensi waktu, dimensi tempat, dan dimensi personal.
2)      Unsur Materiil (Rukun Madi)
            Unsur materiil adalah perilaku atau perbuatan yang membentuk jarimah (pelanggaran), baik dalam arti berbuat sesuatu maupun tidak berbuat. Jadi, unsur materiil adalah perbuatan yang dinyatakan melawan hukum, baik bersifat melakukan (ijabiyah) maupun tidak melakukannya (salbiyah), baik dilakukan sendiri maupun kelompok.
3)      Unsur Moriil (Rukun Adabi)
            Unsur moriil dinamakan pula dengan al-mas’uliyyah al-jinayyah, yaitu pertanggung jawaban pidana daru pelaku delik atau jarimah. Prinsip dasar dari unsur ini adalah setiap orang menanggung resiko hasil perbuatannya yang diharamkan dalam keadaan sadar dan tahu.
2.    Al-‘Uqubat
a.    Pengertian Uqubat
            Hukum pidana dalam islam disebut Al-‘Uqubaat dari kata tersebut meliputi hal-hal yang merugikan atau tindak kriminal. Syari’ah menekankan pemenuhan hak-hak semua individu secara hukum. Hukum syari’ah harus berpegang kepada hukum yang ditetapkan oleh kasus al-‘uqubat itu. Oleh karenanya ia tidak boleh menggunakan hukuman selain hukuman yang telah di tetapkan Al-Qur’an dan Hadist.[17]
            Abdul Qadir Audah memberikan definisi hukuman sebagai berikut:
العقوبة هي الجزاء المقرّر لمصلحة الجماعة على عصيان امر الشارع
Artinya: “Hukuman adalah pembalasan atas pelanggaran perintah syara’ yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat
            Dari definisi di atas, hukuman merupakan balasan yang setimpal atas perbuatan pelaku kejahatan yang mengakibatkan orang lain menjadi korban akibat perbuatannya. Atau dengan kata lain, hukuman merupakan penimpaan derita dan kesengsaraan bagi pelaku kejahatan sebagai balasan dari apa yang telah diperbuatnya kepada orang lain atau balasan yang diterima pelaku akibat pelanggaran perintah syara’.[18]
b.    Dasar Hukuman
Berbagai kebijakan yang ditempuh oleh Islam dalam upaya menyelamatkan manusia baik perseorangan maupun masyarakat dari kerusakan dan menyingkirkan hal-hal yang menimbulkan kejahatan. Islam berusaha mengamankan masyarakat dengan berbagai ketentuan, baik berdasarkan Al-Qur’an, Hadits Nabi, maupun berbagai ketentuan dari ulil amri atau lembaga legislatif yang mempunyai wewenang menetapkan hukuman bagi kasus-kasus tazir.
Dasar-dasar penjatuhan hukuman tersebut diantaranya :
يَادَاوٗدُ اِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيْفَةً فِى الْاَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلاَتَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عًنْ سَبِيْلِ اللهِ اِنَّ الَّذِيْنَ يُضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ بِمَا نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَابِ ۞ (ص: ٢٦)
Artinya :
Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi ini, maka berikanlah keputusan (hukuman) diantara manusia dengan adil dan janganlah mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapatkan siksa yang berat karena mereka melupakan hari perhitungan”
c.    Tujuan Hukuman
            Esensi dari pemberian hukuman bagi pelaku suatu jarimah menurut Islam adalah, Pertama,pencegahan serta balasan (al-ra’du waz zahru) dan kedua, adalah perbaikan dan pengajaran (al-ishlah wat-tahdzib).
            Dalam aplikasinya,hukuman dapat dijabarkan menjadi beberapa tujuan, sebagai berikut:
1)      Untuk memelihara masyarakat
2)      Sebagai upaya pencegahan dan prevensi khusus bagi pelaku.
3)      Sebagai upaya pendidikan dan pengajaran (ta’dib dan tahdzib)
4)      Hukuman sebagai balasan atas perbuatannya
            Tujuan pokoknya adalah menyadarkan semua naggota masyarakat untuk berbuat baik dan menjauhi berbuat jelek, mengetahui kewajiban dirinya, dan menghargai hak orang lain.[19]
d.    Macam-Macam Hukuman
            Hukuman dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan tindak pidana yang dituangkan dalam syara’ ataupun yang tidak terdapat nash hukumnya. Ditinjau dari segi ada dan tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, hukuman dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1)      Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qisas, diyat, dan kafarah. Misalnya hukuman bagi penzina, pencuri, perampok, pemberontak, pembunuh, dan orang yang menzihar istrinya.
2)      Hukuman yang tidak ada nashnya, yang disebut hukuman ta’zir, seperti percobaan melakukan tindak pidana, pencurian yang tidak sampai batas jumlah yang ditetapkan.
            Ditinjau dari segi hubungan antara hukuman dengan hukuman yang lain, ada empat macam hukuman, yaitu:
1)      Hukuman pokok (al-uqubat al-ashliyah), yaitu hukuman asal bagi kejahatan, seperti hukuman mati bagi pembunuh dan hukuman cambuk (jilid) seratus kali bagi penzina ghayr muhsan.[20]
2)      Hukuman Pengganti (al-uqubat al-badaliyah), yaitu hukuman yang menggantikan kedudukan hukuman pokok (hukuman asli) yang karena suatu sebab tidak dapat dilaksanakan.
3)      Hukuman tambahan (al-uqubat al-taba’iyah), yaitu hukuman yang dikenakan mengiringi hukuman pokok. Seorang pembunuh adalah pewaris, maka ia tidak mendapat warisan dari harta si terbunuh.
4)      Hukuman pelengkap (al-uqubat al-takmiliyyah), yaitu hukuman untuk melengkapi hukuman pokok yang telah dijatuhkan, namun harus melalui keputusan tersendiri oleh hakim.
3.                  Hudud
Had hanya diberikan bila terjadi pelanggaran atas hak-hak masyarakat. Kata Hudud adalah bentuk jamak dari Bahasa Arab “Hadd” yang berarti pencegahan, penekanan dan larangan. Secara terminologis Hudud adalah hukuman yang telah ditetapkan Syari’at untuk mencegah kejahatan.
Dalam hukum Islam, kata Hudud dibatasi untuk hukuman karna tindak pidana yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah nabi SAW, sedang hukuman lain ditetapkan pertimbangan hakim atau yang disebut dengan Ta’dzir.
Tindak pidana yang dapat dihukum oleh syari’at yaitu tindakan yang dapat mempengaruhi masyarakat, seperti pembunuhan (qatl), perampokan (hirobah),pencurian (sariqah),penzinahan (zina), tuduhan zina(qadzaf. Tetapi perlu di pahami bahwa Al-Qur’an telah menetapkan ketentun umum bagi hukuman pelanggaran pada ayat berikut :
وَجَزَٰٓؤُاْ سَيِّئَةٖ سَيِّئَةٞ مِّثۡلُهَاۖ فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ  ٤٠
Artinya :
 Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.
Hukuman atas tindakan pidana dapat dikatagorikan kedalam empat hal:
a.       Hukuuman fisik yang meliputi hukuman mati, potong tangan, hukuman cambuk, dan rajam sampai mati.
b.      Membatasi kebebasan, meliputi hukuman penjara, atau mengasingkan pelaku kejahatan.
c.       Membayar denda
d.      Peringatan yang telah diberikan oleh hakim.
Adapun hikmah disyari’atkannya Hudud yaitu :
a.       Untuk menjadi pembelajaran bagi orang yang melakukan tindakan pidana, sehingga ia tidak mau mengulanginya lagi
b.      Untuk mensucikan diri dari dosa yang telah dilakukan orang yang dijatuhi hukuman dah (Hudud)
c.       Untuk pencegahan terjadinya tindak pidana, karena orang takut terhadap beratnya ancaman hukuman tersebut.[21]
4.                  Qishas
a.         Pengertian Qishas
            Kata qisas dalam hadis disebut dengan kata qawad, maksudnya adalah semisal, seumpama (al-mumatsilah). Adapun maksud yang dikehendaki syara’ adalah kesamaan akibat yang ditimpakan kepada pelaku tindak pidana yang melakukan pembunuhan atau penganiayaan terhadap korban. Dalam ungkapan lain, qisas adalah pelaku akan menerima balasan sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Abdul Qadir Audah mendefinisikan qisas sebagai keseimbangan atau pembalasan terhadap pelaku tindak pidana dengan sesuatu yang seimbang dari apa yang telah diperbuatnya.
            Hukuman ini dianggap sebagai hukuman terbaik sebab mencerminkan keadilan. Pelaku mendapat imbalan yang setimpal dengan perbuatan yang dilakukan terhadap orang lain. Hukuman ini menjadikan pelaku berpikir dua kali untuk melakukan ha yang serupa ketika dia mengingat akibat yang sama yang akan ditimpakan kepadanya.
            Qisas merupakan hukuman pokok bagi perbuatan pidana dengan objek (sasaran) jiwa atau anggota badan yang dilakukan dengan sengaja, seperti membunuh, melukai, menghilangkan anggota badan dengan sengaja. Oleh karena itu, bentuk jarimah ini ada dua, yaitu pembunuhan sengaja dan penganiayaan sengaja.
            Pembunuhan sengaja adalah pembunuhan yang dilakukan secara kesengajaan dengan sasaran jiwa korban dan mengakibatkan kematian. Dalam hal ini, ada dua unsur pokok, yaitu kesengajaan berbuat atau perbuatan itu diniati, bahkan merupakan bagian skenario dari pelaku. Untuk membedakannya dari pembunuhan semi sengaja, pelaku harus memakai alat yang menurut kelaziman dipakai untuk membunuh, seperti benda-benda tajam, senjata api dan racun. Dikategorikan membunuh dengan sengaja, misalnya membakar, menenggelamkan korban kedalam air, mendorong korban dari ketinggian dan lain sebagainya.
            Adapun penganiayaan sengaja adalah bentuk perbuatan yang dilakukan secara sengaja dengan sasaran anggota badan yang mengakibatkan luka, hilangnya anggota badan, atau hilangnya fungsi anggota badan. Di sini juga ada dua unsur pokok, yaitu kesengajaan berbuat dan hasil yang diakibatkan dikehendaki. Perbedaannya dengan pembunuhan sengaja terletak pada hasilnya. Pada pembunuhan sengaja, hasil yang dikehendaki adalah kematiaan, sedangkan pada penganiayaan sengaja, hasilnya adalah luka, cacat korban atau hilangnya fungsi anggota badan korban.
b.    Kalsifikasi Hukum Qishas
            Hukuman pokok pada jarimah pembunuhan sengaja adalah qisas, yaitu dibunuh kembali. Sedangkan hukuman pokok, qisas mempunyai hukum pengganti, yaitu apabila keluarga korban menghapuskan hukuman pokok ini, qisas pun tidak dapat dijatuhkan dan digantikan dengan hukuman diyat. Diyat pun seandainya dimaafkan dapat dihapuskan dan sebagai penggantinya, hakim menjatuhkan hukuman ta’zir. Jadi, qisas sebagai hukuman pokok mempunyai dua hukuman pengganti, yaitu diyat dan ta’zir.
            Adanya hukuman pengganti pada jarimah qisas disebabkan adanya pemaafan dari korban atau wali atau ahli warisnya. Hal itu dimungkinkan sebab jarimah qisas merupakan haq adami hak perseorangan. Oleh karena itu, jika korban (masih hidup) atau wali atau ahli waris (jika korban mati) memaafkan perbuatan jarimah, hukuman qisas pun menjadi gugur digantikan dengan hukuman diyat. Apabila korban atau keluarganya memaafkan, diyat dapat dihapus. Sebagai penggantinya, hakim akan menjatuhkan hukuman ta’zir. Di samping itu, hukuman pokok tidak boleh dijatuhkan ketika perbuatan tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai jarimah qisas akibat adanya kesamaran atau syubhat dalam segala aspek, baik pelaku, korban maupun tempat. Dalam hal ini hukuman pokok digantikan dengan hukuman pengganti (ta’zir). Penggantinya bukan diyat, sebab dalam kasus ini terdapat syubhat atau kesamaran dan bukan pemaafan. Dalam kasus syubhat, jarimah tidak dianggap sebagai jarimah qisas lagi.
            Oleh karena itu, hukuman qisas tidak dikenakan kepada pelaku pembunuhan, kecuali terpenuhinya persyaratan dibawah ini.
1)      Korban adalah orang yang haram dibunuh, artinya ia terlindungi darahnya. Orang yang tidak terlindungi darahnya menurut Islam adalah pezina, muhsan, orang murtad, kafir harbi dan lain-lain. Walaupun sebagai tindakan preventif, hakim dapat menjatuhkan hukuman lain kepada pelaku, berupa hukuman ta’zir. Hal ini karena membiarkan pembunuh melakukan aksinya -walaupun korbannya bukan yang dilindungi darahnya- akan menciptakan suasana main hakim sendiri (tahakumiyyah) yang menjurus pada saling membunuh secara berantai dan anarkis.
2)      Pelaku pembunuhan adalah orang yang mukallaf, akil baligh, tidak hilang ingatan (gila) sebab mereka dikenai pembebanan (taklif).
3)      Pelaku pembunuhan mempunyai hak pilih untuk melakukan atau meninggalkan. Artinya, dia melakukan perbuatan tersebut tanpa tekanan, tanpa paksaan berqat yang menyebabkan hilangnya hak pilih tersebut.
4)      Pelaku pembunuhan bukan orang tua korban, ayah, atau datuknya.
            Adapun penganiayaan sengaja juga dijatuhi hukuman qisas. Penganiayaan sengaja dapat berbentuk pelukaan terhadap anggota badan, penghilangan fungsi anggota badan, atau penghilangan (pemisahan) dari tempat asalnya.
            Dalam pelaksanaa hukuman, baik untuk pembunuhan sengaja maupun penganiayaan (pelukaan) sengaja, pelaku menerima hukuman sesuai dengan yang diterima korban, tidak boleh melebihi yang dilakukan pelaku terhadap korban. Melebihkan hukuman dianggap sebagai perbuatan yang melampaui batas ketentuan dan tidak dikehendaki pembuat syariat.
            Dalam hal penganiayaan sengaja yang dimaafkan korban dan diganti dengan diyat, dengan mengutip Ahmad Hanafi, Rasulullah telah menentukan sanksinya, yaitu apabila melukai kepala atau muka yang sam pai menampakka tulang, diyatnya adalah lima ekor unta. Bagi pelukaan yang mematahkan tulang, dikenakan hukuman sepuluh ekor unta. Pelukaan yang mengenai lapisan otak dan masuk ke perut, hukumannya adalah sepertiga diyat atau lebih kurang tiga puluh tiga ekor sebab diyat itu seratus ekor unta. Jadi, diyat pada penganiayaan sengaja bukan hukuman pokok, melaiinkan hukuman pengganti dari qisas yang dihapuskan atau karena suatu sebab tidak dapat dijatuhkan.

5.                  Diyat
a.    Pengertian Diyat
            Diyat dalam arti jarimah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang terhadap objek jiwa dan anggota badan, baik perbuatannya mengakibatkan kematian, hanya mengakibatkan luka, maupun tidak berfungsinya anggota badan korban, yang dilakukan tanpa sengaja atau semisengaja. Adapun diyat dalam arti hukuman merupakan hukuman pokok bagi jarimah dengan sasaran manusia yang dilakukan dengan sengaja atau semisengaja. Disamping itu, diyat merupakan hukuman pengganti dari hukuman pokok (qisas) yang dimaafkan atau karena sebab tertentu yang tidak dapat dilaksanakan. Diyat merupakan hukuman pokok bagi pembunuhan tidak disengaja, pembunuhan semisengaja, dan pembunuhan tidak disengaja.
            Pembunuhan tidak sengaja adalah ketidaksengajaan kedua unsur khusus, yaitu ketidaksengajaan perbuatan, artinya perbuatan tersebut tidak diniatkan ke arah sasaran, misalnya melempar kerikil ke arah burung, kerikil terpental ke arah seseorang dan ia kaget kemudian terjatuh hingga meninggal dunia.
            Pembunuhan semisengaja pada hakikatnya merupakan bentuk penganiayaan yang dilakukan secara sengaja, dengan memakai alat yang menurut kelaziman tidak mematikan, tetapi korban penganiayaan tersebut mati, seperti memukul dengan sapu lidi. Pemukulannya itu dilakukan dengan sengaja karena suatu sebab, tetapi akibat yang ditimbulkan berupa kematian yang tidak dikehendaki oleh pelaku.
            Adapun penganiayaan tidak sengaja adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, tetapi dengan sasaran lain ataupun dilakukan dengan tidak sengaja, baik perbuatan itu maupun objek atau sasarannya. Artinya, perbuatan atau sasaran semata-mata kekeliruan, tetapi akibatnya dapat melukai, menghilangkan anggota badan, atau menghilangkan fungsi anggota badan. Seperti seseorang sengaja melempar batu untuk mengusir burung, dan batu tersebut mengenai orang lain yang mengakibatkan cacat. Contoh lainnya karena kekeliruan, misalnya menyimpan alat-alat atau barang berbahaya tidak di tempatnya, sehingga menyebabkan orang lain menjadi celaka.
b.    Klasifikasi Diyat
            Imam Abu Hanifah dan Imam malik menjelaskan tiga macam diyat, yaitu sebagai berikut.
1.                  Seratus ekor unta, seribu dinar emas atau dua belas ribu dirham perak. Menurut sumber yang sama, pendapat seperti ini pun dikeluarkan oleh Asy-Syafi’i dalam qaul qadim-nya. Akan tetapi, berbeda dalam qaul jadid-nya, ia hanya mengharuskan unta, sedangkan emas dan perak disandarkan pada harga unta tersebut.
2.                  Khusus pembunuhan tidak disengaja, Al-Qur’an mengharuskan pelaku memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin sebagai kafarat. Apabila tidak didapati hamba sahaya, dia harus berpuasa dua bulan berturut-turut, sebagai hukuman pengganti, seperti diterangkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 92.
            Dalam zahir ayat tersebut, kafarat diharuskan pada pembunuhan karena khilaf. Menurut riwayat, jenis hukuman ini juga berlaku bagi pembunuhan semisengaja karena bentuknya menyerupai kekhilafan. Asy-Syafi’i mewajibkan kafarat untuk pembunuhan sengaja. Ia berkata “Sesunggguhnya kafarat itu wajib dalam pembunuhan sengaja, apabila kafarat itu diwajibkan pada pembunuhan tidak disengaja yang pada hakikatnya tidak berdosa, apalagi bagi pembunuhan sengaja dan semisengaja yang jelas tampak berat dosanya dan ini lebih utama.”
            Abu Hanifah berpendapat lain yang pada intinya dapat disimpulkan, baik kafarat maupun qisas secara tegas digariskan dalam Al-Qur’an untuk setiap peruntukkannya. Qisas bagi pembunuhan sengaja, sedangkan kafarat untuk pembunuhan karena khilaf.
            Dalam hal orang yang menerima kafarat, Asy-Syafi’i mengatakan bahwa kafarat dijatuhkan bagi setiap warga negara, baik muslim maupun bukan, termasuk kafir dzimmi dan mereka yang meminta perlindungan karena perjanjian, kecuali kafir harby. Adapun Abu Hanifah berpendapat, kafarat hanya diwajibkan bagi muslim yang sudah baligh, sebab kafarat itu pada hakikatnya merupakan ibadah atau hukuman yang berbentuk ibadah, sedangkan orang selain Islam tidak diwajibkan sesuatu yang bersifat ibadah. Demikian juga anak-anak dan orang gila.
            Hukuman pokok bagi pelaku jarimah pembunuhan tidak sengaja dan pembunuhan semisengaja adalah diyat dan kafarat, sedangkan hukuman penggantinya adalah ta’zir dan berpuasa dua bulan berturut-turut. Seperti halnya pembunuhan sengaja, dalam pembunuhan tidak sengaja dan pembunuhan semisengaja pun disediakan hukuman tambahan, yaitu terputusnya garis waris dan terhalangnya wasiat. Pemberian hukuman tambahan berupa terputusnya hak waris dan wasiat bagi kedua jenis pembunuhan ini kemungkinan merupakan pemahaman dan keumuman kata pembunuhan (al-qatil) dalam hadis di atas, yang memungkinkan masuknya semua jenis pembunuhan.
            Untuk penganiayaan tidak sengaja, menurut Ahmad Hanafi, Rasulullah SAW. telah menetapkan batas-batas hukum diyat. Pertimbangannya dilihat pada anggota badan korban. Bagi anggota badan yang terdiri atas pasangan, bagi pelaku yang menghilangkan salah satunya dikenai diyat tidak lengkap atau separuh diyat, yaitu lima puluh ekor unta. Adapun bagi pelaku yang menghilangkan anggota badan yang hanya terdapat satu dalam tubuh, dikenai diyat lengkap, yaitu seratus ekor unta. Termasuk di dalamnya adalah hukuman diyat yang berkaitan dengan menghilangkan fungsi anggota badan, walaupun badannya tidak hilang, misalnya menghilangkan fungsi pendengaran atau penglihatan dan lain-lain.

6.                  Pertanggungjawaban Pidana
            Pertanggungjawaban pidana adalah kebebasan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan. Termasuk dalam pertanggungjawaban pidana adalah akibat yang ditimbulkan dari berbuat atau tidak berbuat yang muncul atas dasar kemauan sendiri karena pelaku telah menyadari konsekuensi perbuataannya.
            Salah satu unsur jarimah adalah unsur moral sehingga pertanggungjawaban pidana harus meliputi tiga hal:
1.      Perbuatan yang dilarang
2.      Kebebasan dalam berbuat atau tidak berbuat
3.      Kesadaran bahwa perbuatan itu mempunyai akibat tertentu.
            Pertanggungjawaban pidana atau al-masuliyyah al-jinaiyyah hanya ada jika ketiga hal tersebut ada di dalam pribadi membuat delik. Jadi, pelakunya harus mukallaf. Pertanggungjawaban pidana ini tidak hanya bagi individu tetapi juga berlaku bagi badan hukum. Akan tetapi, karena badan hukum tidak berbuat secara langsung mempertanggungjawabkan perbuatannya, pertanggungjawaban dikenakan kepada orang yang mewakili badan hukum tersebut.
            Hukuman dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan terciptanya ketertiban dan ketenteraman masyarakat. Hukuman yang merupakan beban tanggung jawab pidana, dipikulkan kepada pembuat jarimah untuk terciptanya tujuan tersebut. Untuk itu, harus ada kesesuaian antara hukuman sebagai beban dengan kepentingan masyarakat.
            Untuk terciptanya tujuan tersebut, hukuman harus:
1.      Memaksa seseorang untuk tidak mengulanginya lagi
2.      Menghalangi keinginan orang lain untuk melakukan hal yang serupa
3.      Sanksi yang diterima pembuat jarimah harus bersesuaian dengan hasil perbuatannya, artinya berkeadilan
4.      Sanksi hendaknya merata tanpa pertimbangan yang menunjukkan derajat kemanusiaan, kaya, miskin, pejabat, dan orang biasa, semuanya dianggap sama di mata hukum
5.      Hukuman harus diterima pembuat jarimah, tidak diberat dan tidak memberati, selain pembuat jarimah karena adanya pertalian geneokologis, kekeluargaan. Artinya hanya bertanggung jawab sendiri atas apa yang diperbuat tanpa membebani atau dibebani orang lain.
            Besar kecilnya hukuman yang diberikan kepada pelaku jarimah, selain ditentukan oleh akibat yang ditimbulkan, juga ditentukan oleh hal-hal lain yang terdapat dalam diri pembuat tindak pidana. Karena perbuatan melawan adakalanya disepakati nersama-sama, langsung atau tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja, dan lain-lain. Adanya perbedaan bentuk-bentuk perlawanan terhadap hukum mengakibatkan adanya tingkatan dalam pertanggungjawaban pidana.
7.                  Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana
            Pertanggung jawaban pidana dapat terhapus karena adanya sebab-sebab, baik yang berkaitan dengan perbuatan si pelaku tindak pidana maupun sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan pembuat delik. Selanjutnya, perbuatan-perbuatan yang termasuk kedalam kategori kedua, yang berhubungan dengan kondisi pelaku karena perbuatan itu sendiri merupakan suatu perbuatan yang dilarang melakukannya, namun pelakunya tidak dijatuhi hukuman karena keadaan yang ada di dalam dirinya.
            Mengenai jenis yang pertama, yaitu terhapusnya hukuman karena perbuatan itu sendiri, diantaranya sebagai berikut :
  1. Pembelaan yang sah.
  2. Pengajaran
1)      Pengajaran terhadap istri
2)      Pengajaran terhadap anak kecil
  1. Pengobatan
  2. Olahraga
  3. Hilangnya jaminan keselamatan
  4. Karena perintah jabatan
            Adapun mengenai terhapusnya pertanggung jawaban pidana atau terhapusnya hukuman karena berkaitan dengan kondisi pelaku atau berkaitan dengan keadaan si pelaku terdapat dalam empat keadaan.
  1. Karena paksaan
  2. Karena gila
  3. Karena mabuk
  4. Karena belum dewasa.

8.                  Pembatalan Hukuman
Pembatalan hukuman adalah tidak dapat dilakukannya suatu putusan pengadilan yang telah dijatuhkan berkenaan berbagai sebab, baik sebab itu pada diri terhukum maupun usaha-usaha terhukum, atau berkaitan dengan masalah waktu hukuman. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara terhapusnya hukuman dengan pembatalan hukuman. Pada terhapusnya hukuman, tidak terdapat pertanggung jawaban pidana, karena pakarnya tidak diproses sehingga tidak ada keputusan hakim. Adapun pada pembatalan hukuman, pertanggung jawaban pidana itu ada dantelah diproses di pengadilan sehingga terdapat keputusan hakim. Namun karena sebab-sebab seperti tersebut diatas, keputusan tersebut tidak dapat dilaksanakan kepada terhukum.
Berikut ini beberapa hal atau perbuatan yang dapat menyebabkan terjadinya pembatalan hukuman :
a)      Meninggalnya si pembuat jarimah. Hukuma mati yang ditetapkan kepada si pelaku menjadi batal pelaksanaannya bila si pelakunya meninggal. Namun, hukuman yang berupa harta seperti denda , diyat, dan perampasan harta dapat terus dilaksanakan.
b)      Hilangnya anggota badan yang dijatuhi hukuman. Dalam kasus jarimah qishash, hukum berpindah kepada hukuman diyat.
c)      Bertobat, menurut para ulama tobat ini hanya ada pada jarimah hirabah. Namun mereka juga memberikan keleluasaan bagi ulil amri untuk memberikan sanksi ta’zir demi kemaslahatan umum.
d)      Korban (dalam hal masih hidup) dan wali/ahli waris (dalam hal korban mati), memaafkannya (dalam qishash-diyat) ataupun ulul amri dalam kasus ta’zir yang berkaitan dengan hak perseorangan.
e)      Adamya upaya damai antara pelaku dengan korban atau wali/ahli waris dalam kasus jarimah qishash/diyat.
f)       Lewatnya waktu tertentu dalam pelaksanaan hukuman. artinya pelaksanaan keputusan yang seharusnya dilaksanakan kepada si terhukum tidak dapat dilaksanakan karena berbagai sebab, sehingga masa berlakunya habis atau kadaluarsa.
9.                  Ta’zir
            Secara etimologis, berarti menolak atau mencegah. Hukuman tersebut bertujuan mencegah yang bersangkutan mengulangi kembali perbuatannya dan menimbulkan kejeraan kepada pelaku. Dalam fiqih jinayah, pengertian ta’zir adalah bentuk hukuman yang tidak disebutkan ketentuan kadar hukumnya oleh syara’ dan penentuan hukumnya menjadi kekuasaan hakim.[22]
            Jenis hukuman ta’zir bervariasi, di antaranya adalah sebagai berikut.
a.       Hukuman Mati. Misalnya koruptor dihukum gantung.
b.      Hukuman penjara. Hukuman ini mutlak dikategorikan sebagai ta’zir.
c.       Hukuman Jilid, cambuk dan yang sejenisnya.
d.      Hukuman pengasingan
e.       Hukuman pencemaran nama baik, yaitu berupa disebarluaskan kejahatannya oleh berbagai media.
f.        Hukuman denda berupa harta
g.      Hukuman kaffarat. Karena pelaku berbuat maksiat, misalnya berpuasa dua bulan berturut-turut, memberi makan fakir miskin, memerdekakan hamba sahaya, dan memberi pakaian kepada orang yang membutuhkan.[23]


D.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
            Jinayah adalah perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena dapat menimbulkan kerugian atau kerusakan agama, jiwa, akal,dan harta benda. Adapun hukum pidana islam atau jinayah adalah hukum pidana yang ada dalam lingkup hukum islam, terjemahan dari konsep ‘uqubah, jarimah, dan jinayah.
            Jinayah adalah masdar (kata asal) dari kata kerja (fi’il madhi) janaa yang mengandung arti suatu kerja yang diperuntukkan bagi satuan laki-laki yang telah berbuat dosa atau salah. Pelaku kejahatan itu sendiri disebut dengan jaani yang merupakan bentuk mufrod bagi satuan laki-laki atau bentuk mufrad mudzakkar sebagai pembuat kejahatan atau isim fa’il. Adapun sebutan pelaku kejahatan wanita adalah jaaniah, yang artinya seorang wanita yang berbuat dosa. Orang yang menjadi sasaran atau objek perbuatan si jaani atau si jaaniah atau mereka yang terkena dampak dari perbuatan si pelaku dinamai mujnaa alaih atau korban.
            Hukum pidana dalam islam disebut Al-‘Uqubaat dari kata tersebut meliputi hal-hal yang merugikan atau tindak kriminal.
            Secara terminologis Hudud adalah hukuman yang telah ditetapkan Syari’at untuk mencegah kejahatan.
            Kata qisas dalam hadis disebut dengan kata qawad, maksudnya adalah semisal, seumpama (al-mumatsilah). Adapun maksud yang dikehendaki syara’ adalah kesamaan akibat yang ditimpakan kepada pelaku tindak pidana yang melakukan pembunuhan atau penganiayaan terhadap korban.
            Diyat dalam arti jarimah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang terhadap objek jiwa dan anggota badan, baik perbuatannya mengakibatkan kematian, hanya mengakibatkan luka, maupun tidak berfungsinya anggota badan korban, yang dilakukan tanpa sengaja atau semisengaja.
            Ta’zir adalah bentuk hukuman yang tidak disebutkan ketentuan kadar hukumnya oleh syara’ dan penentuan hukumnya menjadi kekuasaan hakim
2.      Saran
            Besar harapan kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan kita semua sebagai mahasiswa. Serta meningkatkan kecintaan dan sebagai pendorong daya tarik kita dalam memahami tentang apa saja Hukum Pidana Islam. Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan sebagai perbaikan dalam penyusunan makalah berikutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Mustofa, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah),         Bandung : Pustaka Setia 2013.

Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung : Pustaka Setia     2000

Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, Jakarta : PT RajaGrasindo     Persada, 2002


[1] Mustofa Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2013. Hal. 13
[2] Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2000. Hal. 12
[3]Mustofa Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2013. Hal. 16
[4] Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2000. Hal. 13
[5] Mustofa Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2013. Hal. 15
[6]Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2000. Hal. 14-15
[7] Mustofa Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2013. Hal. 115-116
[8] Mustofa hasan, Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah) ,h.117.
[9] Mustofa Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2013. Hal. 118
[10] Mustofa Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2013. Hal. 120
[11] Mustofa Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2013. Hal. 127-128
[12] Mustofa Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2013. Hal. 132
[13] Mustofa hasan, beni ahmad saebani , “hukum pidana islam fiqh jinayah” ,h.135-138.

[14] Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2000. Hal. 12
[15] Mustofa Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2013. Hal.23
[16] Mustofa Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2013. Hal. 168
[17] Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, Jakarta : PT RajaGrasindo Persada, 2002. Hal. 288-289
[18] Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2000. Hal. 59
[19] Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2000. Hal. 63-66
[20] Mustofa Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2013. Hal. 45
[21] Dr. Mardani Hukum Pidana Islam, hal. 10
[22] Mustofa Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2013. Hal.593
[23] Mustofa Hasan, Beni Ahmad Saibani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung : Pustaka Setia 2013. Hal.595-596

Tidak ada komentar:

Posting Komentar