Minggu, 05 April 2020

Psikologi Agama - Faktor Sosial dalam Agama


Mata Kuliah
Dosen Pengampu
Psikologi Agama
Suhar, S. Ag

FAKTOR SOSIAL DALAM AGAMA

Oleh :

Abdul Hadi

Muhammad Mirwan

Aulia Sari

Laila Shaufia


INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM
FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MARTAPURA
2020





KATA PENGANTAR

            Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan taufik dan hidayah-Nya jualah kami mampu menyelesaikan makalah Psykologi Agama yang berjudul “Faktor Sosial Dalam Agama”. Sholawat dan salam senantiasa kita curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta seluruh keluarga beliau, sahabat-sahabat beliau, dan para pemgikut beliau dari dulu, sekarang dan masa akan datang.
            Di dalam penyajian makalah ini, kami berusaha menyajikan dalam bentuk yang sederhana, agar mudah dalam menelaah dan memahaminya. Kami berharap dapat bermanfaat tidak hanya untuk penyusun pada khususnya, tetapi pembaca pada umumnya.
            Kami menyadari keterbatasan yang terdapat di dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kami berharap kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak, terutama dari bapak Suhar, S. Ag, sebagai dosen pembimbing mata kuliah Psykologi Agama demi menyempurnakan isi, cara penulisan, dll.
            Akhir kata, kami ucapkan terimakasih kepada para penerbit dan pengarang buku, serta situs internet dalam mengikat pembahasan yang bersentuhan langsung dengan topik yang kami susun.
Martapura, 15 Maret 2020
Penulis:


Kelompok 3



DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah............................................................................. 1
C.     Tujuan............................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Apa sajakah faktor-faktor sosial dalam agama?............................... 2
B.     Bagaimanakah hubungan agama dengan kehidupan sosial?............ 9
C.     Seperti apakah faktor sosial dalam agama dilihat dari segi perubahan sosial?    9
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan..................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Dalam hal kehidupan sosial keagamaan, Indonesia sangat kaya dan unik. Agama telah mendorong lahirnya organisasi sosial keagamaan, bahkan juga partai politik, yang membantu peran negara dalam mendidik dan mencerdaskan warga negara. Negara sangat berterima kasih kepada agama sehingga dengan APBN negara memberikan dukungan finansial dan politik kepada berbagai institusi sosial keagamaan. Tokoh dan institusi sosial keagamaan juga memberikan dukungan dan masukan moral kepada pemerintah dan negara. Yang perlu dijaga adalah jangan sampai ruang publik dan institusi negara dijadikan obyek kontestasi hegemoni agama karena sifat pemeluk agama yang cenderung eksklusif dan sulit menerima kritik. Yang muncul adalah relasi kalah-menang, padahal di antara mereka baru pemula dalam mempelajari agama.
            Karena yang demikian itulah, pada makalah ini kami akan membahas tentang faktor sosial dalam agama
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja faktor-faktor sosial dalam agama?
2.      Bagaimana hubungan agama dengan kehidupan sosial?
3.      Seperti apa faktor sosial dalam agama dilihat dari segi perubahan sosial?
C.     Tujuan
1.      Mengetahui apa saja faktor-faktor sosial dalam agama
2.      Mengetahui bagaimana hubungan agama dengan kehidupan sosial
3.      Mengetahui seperti apa faktor sosial dalam agama dilihat dari segi perubahan sosial
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Agama dan Sosial
      Secara Etimologis, dalam bahasa Sanskerta, kata Agama terdiri dari dua suku kata, yaitu  : A yang artinya tidak dan GAMA yang artinya kacau, kocar-kacir, berantakan. Jadi, AGAMA bermakna tidak kacau, tidak kocar-kacir, tidak berantakan, atau adanya keteraturan dan peraturan untuk mencapai arah atau tujuan tertentu.
      Adapun dalam bahasa Latin, kata agama berasal dari kata Religio, Religere yang artinya mengembalikan ikatan, memperhatikan dengan saksama. Agama adalah tindakan manusia untuk mengembalikan ikatan atau memulihkan hubungannya dengan Ilahi.
      Secara terminologi, dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia disebutkan bahwa agama adalah aturan atau tata cara hidup manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama adalah ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
      Dalam sosiologi, agama bisa dilihat sebagai sistem keyakinan atau insititusi sosial. Sebagai sistem keyakinan, agama mempengaruhi atau bahkan menentukan bagaimana orang berpikir, bertindak dan berperilaku. Sedangkan sebagai insitusi sosial, agama merupakan seperangkat norma, nilai dan aturan yang membentuk pola tindakan sehingga terorganisir dan berkembang secara dinamis dalam rentang historis tertentu.[1]
Adapun sosial merupakan rangkaian norma, moral, nilai dan aturan yang bersumber dari kebudayaan suatu masyarakat atau komuniti yang digunakan sebagai acuan dalam berhubungan antar manusia.[2].
B.     Faktor-Faktor Sosial dalam Agama
      Dalam kegiatan sosial, agama berperan penting dalam kehidupan sehari-hari, berikut adalah beberapa faktor sosial didalam agama :
1.      Kooperasi Sebagai Faktor Sosial dalam Agama
            Kooperasi adalah suatu bentuk kerjasama yang di lakukan oleh sekurang-kurangnya dua orang untuk meraih tujuan tertentu.  Dalam hal kooperasi menjadi pendorong untuk berlangsungnya proses sosialisasi, adapun permasalahnnya yaitu, apakah orang-orang juga perlu bekerjasama untuk merealisasikan perlaku agamanya? Kalau iya, bagaimana kerjasamnya dengan orang bergama itu menimbulkan proses sosialisasi? Agaknya terlalu banyak perilaku agama yang menuntut kerjasama, terutama diantara mereka yang seagama. Mendirikan tempat ibadah, menyelenggarakan pendidikan agama, sampai ke melaksanakan ritual dan ibadah agama pasti memerlukan kerjasama. Orang islam misalnya, untuk keperluan ibadahnya, mereka harus mempunyai tempat ibadah. Betapapun di paksakannya, akan sangat sulit mendirikan masjid seorang diri, sebab dari unsur fisiknya saja, secara kasar untuk tegaknya sebuah tempat ibadah di perlukan pasir batam semen, tegel, kayu , genting dan kaca. Padahal belum pernah belum pernah ada orang yang menekuni usaha membuatkan ketujuh material bangunan tersebut sekaligus. Dari segi keahlian memasang alat-alatnya sehingga dapat berdiri tegak suatu bangunan, juga tidak dapat di kuasai sendiri.
            Sementara untuk memenuhi tuntutan terselangganya ibadah secara berjamaah, tentu tempat ibadah itu harus dapat menampung sejumlah tertentu, bukan untuk orang seorang. Pendeknya untuk mendirikan tempat ibadah khususnya masjid, pasti memerlukan banyak orang. Sejumlah orang yang diperlukan untuk membangun suatu tempat ibadah itu harus terikat dalam suatu kerjasama yang rapih, sehingga jelas dan tanggung jawabnya masing-masing, tetapi masalahnya, dapatkah terkumpul sejumlah orang tanpa didahului oleh proses sosialisasi? ini berarti pula, dapatkan terwujud kerjasama antara tukang tembok, tukang kayu, tukang genting, tukang cat dan sebagainnya, tanpa melalui proses sosialisasi terlebih dahulu? Disitulah perlunya seorang A mendatangi B,C,D dst. Sementara E mengontak F,G,H dst sehingga berlangsunglah proses sosialisasi sebelum tapi dalam rangka kerja sama membangun sebuah tempat ibadah. Nah  itu berarti kooperasi atau kerjasama menjadi pendorong bagi orang-orang beragama, khususnya islam untuk melakukan proses sosialisasi.
            Sebagaimana dalam masyarakat lain, dalam  kelompok orang bergama pun bekerjasama seperti itu tidak dapat dielakkan, apalagi di tengah-tengah persamaan pendirian bahwa sentral pengabdian manusia diarahkan kepada yang maha kuasa. Jadi dalam masyarakat agama, inti orientasi hidup bermasyarakat itu senantiasa dipusatkan kepada tuhan istimewannya pengabdian tuhan itu bukan sebatas harus hadir, tapi bahkan selalu aktual dalam kurun waktu yang manapun. Aktualisasi juga bahkan sebatas menuntut penyesuaian waktu, sebagaimana tidak dapat hanya di ukur oleh tuntutan hidup seseorang diri dalam suatu daerah tertentu, melainkan tetap bergantung pada komunitas bermasyarakat kenyataannya, masyarakat pun tidak akan berkembang tanpa terjalin kerjasama dan pembagian tugas masing-masing antar individunya. Akhirnya tetap kembali pada prinsip semula, yakni tidak akan terjadi kerja sama apabila tidak di dahului oleh proses sosialisasi.
2.      Kompetensi Sebagai Faktor Sosial dalam Agama
            Kata “kompetensi” dalam bahasa Inggis competititon merupakan kata benda. Kata itu berasal dari kata kerja  to compete, artinya perjuangan untuk memperoleh superioritas. Sebagai kata benda menurut Sykes kompetensi artinya sebagai kegiatan saling berlomba, semisal dalam ujian, usaha dan sebagainnya; tau kegiatan saling berlomba, semisal dalam ujian, usaha dan sebagainnya; atau kegiatan yang bersifat adu kecakapan yang melibatkan pribadi-pribadi untuk memperoleh yang terbaik.
            Itu berarti bahwa kompetensi itu tumbuh karena adanya hajat dan kebutuhan manusia yang di dasarkan atas ketidakpuasan yang tidak putus-putusnya, pada pihak lain di sediakan barang, prestise dan keuntungan yang merupakan hadiah bagi keberhasilan kompetensi tersebut. Dari uraian itu dapat di batasi bahwa kompetensi adalah usaha yang bersifat adu kecakapan atau lomba kemampuan yang dilakukan oeh setiap orang untuk memeperoleh prestasi atau prestise, baik bersifat/materi maupun berupa penghargaan dan penilaian moral, semisal kalau A dan B bermain bulutangkis didalamnya terkandung nilai kompetisi, karena sudah ada unsur ingin memperoleh prestasi yang lebih baik satu sama lain dari lawannya, sebagaimana satu sama lain juga ingin dhargai, paling tidak penghargaan moral, dan apabila mungkin pada tingkat tertentu akan memperoleh imbalan materi.
            Pada dasarnya kompetesi itu dilakukan oleh setiap orang secara alamiaha, walaupun dalam perkembangan selanjutnya untuk maksud-maksud tertentu kompetisi itu di formalkan sedemikian rupa disertai imbalan perolehan terutama yang bersifat materi.
            Sementara di sisi lain, dari lingkunganlah manusia endapatkan unsur-unsur yang di perlukannya unuk produksi dan konsumsi. Kebutuhan dasar manusia itu meliputi:
a.       Kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup hayati
b.      Kebutuhan dasar untuk memilih kelagsungan hidup manusiawi dan derajat kebebasan memilih hanyalah muugkin apabila kelangsungan hidup hayati terjamin dan terpenuhi.
c.       Kalau prinsip kompetisi itu didampingkan dengan tuntutan aktualisasi diri disertai upaya memperoleh dengn tuntutan aktualisasi diri disertai upaya memperoleh nilai tambah terhadap kenyataan yang ada dengan memanfaatkan potensi yang dimilikinya.
            Karena itu apabila aktualisasi diri itu berkembnag, maka akan terjadilah empat hal sebagai berikut:
a.       Aktualisasi diri itu akan menumbuhkan ukuran dan tuntutan yang melebihi keadaan apa yang ada pada diri seseorang. Artinya ia akan menuntut sesuatu yang melebihi apa yang sudah dimilikinya, serta mengharapkan balasan yang lebih besar dari pa yang di lakukannya.
b.      Aktualisasi diri akan berakibat meningkatnya kemampuan seseorang secara berkelanjutan. Peningkatan ini bisa terjadi mungkin karena membaca buku, majalah, mengikuti kursus dan lain-lain, atau melalui perjalanan tertentu, termasuk anjang sono.
c.       Aktualisasi diri juga akan dapat menigkatkan pengertian-pengertian, sehingga menjadi orang yang selalu ddorong untuk meninginginkan perolehan lebih dari apa yang ada pada dirinya. Sebab dengan eningkatkan penegrtian akan meningkat pula keingintahuannya
d.      Aktualisasi diri mendorong seseorang untuk mau memanfaatkan segala kemampuan dan bakat yang di miliknya, bahkan akan berusaha menegmbangkan kemampuan bagi dirinya dengan menyediakan modal yang sekecil-kecilnya.
            Sekarang kita dapat memahami hubungan antara kompetesi dengan aktualisasi diri. Namun masih ada masalah lain, apakah ada hubungan antara kompetisi dan proses sosialisasi? Kalau ada, bagaimana logikanya kompetisi dapat mendorong seseorang unutk melakukan interaksi sosial? Pertanyaannya sederhana, dan memnag keduanya ada hubungannya, mengingat kompetisi disini dapat di pandang sebagai tujuan tersembunyi yang di harapkannnya, sednag proses sosialisi merupakan perantara yang dapat menyampaikan pad aperalihan tujuan tersebut.
3.      Konflik Sebagai Faktor Sosial dalam Agama.
            Konflik adalah kesulitan meneyeasikan pertentangan yang dialami oleh seseorang karena dihadapkan pada keinginan-keinginan yang tidak dapat di persatukan atau didamaikan. Atau juga bisa sebagai penyimpangan atau pertentangan sosial berdampak terhadap individu.
            Ada dua jenis konflik yang dapat di ketahui: (1) konflik intern/individu, (2) konflik ektern/ antar anggota sosial.[3]
a.       Konflik intern/individu.
            Dari sekian banyak pertimbangan, konflik jenis ini terjadi karena sesorang menghadapi dua pilihan atau lebih yang sama nilainya, tanpa dapat digabungkan sekaligus. Dalam penampakannya Atwater membagi konflik ini ke dalam empat kategori. Yaitu:
1)      Pendekatan-pendekatan
      Dua orang kebutuhan keinginan atau pilihan yang merupakan dambaan yang saling bergantung akan menciptakan konflik yang bersifat pendekatan-pendekatan. Dalam hal ini orang dituntut memutuskan dan menentukan pilihan terhadap dua pekerjaan yang di pandang sama baiknya. Dalam kehidupan beragama jelas konflik seperti ini buhan hanya ada, tetapi sering terjadi, misalnya orang islam terjebak harus memillih antara membaca Al-Qur’an atau menegrjakan shalat sunnah, padahal keadaan suasananya sangat mendesak, karena ia berada ada stasiun pemberhentian kereta api. Apabila faktor ketidaktahuan dan rasa berdosa itu berakumulasi, tidak mustahil untuk mengatasi konfliknya, orang akan meminta nasehat kepad A, berkonsultasi dengan B, atau hanya sebatas menyatakan kebutuhan dan kesesalan kepada C, dan seterusnya. Dorongan untuk berinteraksi seperti ini dapat berlangsung karena mendengar orang lain atau membaca suatu tulisan, sebelum ia mengalami sendiri. Dengan suatu konflik orang beragama akan terdorong untuk melakukan proses sosialisasi.
2)      Penghindaran-Penghindaran
      Dalam konflik jenis ini, orang akan terpaksa harus memilih dua alternatif yang sama-sama tidak mneyenagkan, kedua alternatif itu bersifat negatif, tapi melekat pada diri seseorang dan tidak mungkin di persatukan.
      Dalam konteks kehidupan beragama, tidak mustahil seorang ibu yang sedang hamil mengalami konflik karena disarankan oleh dokter unutk tidak berpuasa karena untuk kesehatan si bayi dalam kandungannya, menghadapi keadaaan seperti itu  sang ibu berpikir, apakah membatalkan puasanya demi anak, atau meneruskan puasa, tapi keselamatan anak terancam? Dan itulah contoh khusus dari peghindaran-penghindaran.
3)      Pendekatan Penghindaran
      Berbada dengan dua kategori di atas konflik jenis ini terjadi karena orang harus menuntaskan, pakah mendekati dan meraih sesuatu yang menyenangkan atau menghindari yang memuakan. Misalnya, kalau seseorang menggunakan uang untuk memebli baju, berarti ia harus membiarkan di dalam suasana kalut di rumah, akrena uangnya tidak dapat di gunakan untuk rekreasi atau anjang sono pada keluarga dekat. Lalu dalam konflik ini yaitu pendekatan dan pehindaran orang bergama akan terpaksa melakukan proses sosialisasi.
4)      Multi pendekatan dan penghindaran
      Dalam konflik seperti ini terkumpul harapan, keinginan dan kewajiban yang dapat mendatangkan kesenangan dengan melarang yang pasti membuat orang bosan dan menyebalkan. Misalnya.Ali adalah anak orang kaya yang pada mulanya setelah tamat SMA, ia berketetapan untuk tidak melanjutkan sekolah, namun setelah mengikuti pengajian, ia memperoleh kepastian bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib. Menyadari kedudukannya sebagai seorang muslim, ia memantapakan diri untuk kuliah walaupun sudah hampir dua tahun ia tidak aktif belajar. Artinya konflik seperti ini pulalah maraknya kontak dan interaksi sosial.
b.      Konflik Eksternal antar anggota sosial.
      Kalau kita mempelajari perkembangan kehidupan beragama, sejak dari dulu sampai sekarang agaknya tidak akan pernah berakhir mengenai adanya perbedaan agama. Dilihat dari banyak sedikitnya penganut suatu agama, kita dapat mengklasifikasi ke dalam agama besar dan agama kecil walaupun sukar menetapkan batas-batas besar-kecilnya suatu agama, akan tetapi COLE dalam pengantar buku perbandingan agama, menyebutkan agama-agama Hindu, Yahudi,Nasrani, Islam dan Sikh sebagai lima agam besar di dunia, karena kelima agama inilah yang paling banyak  di jumpai di berbagai negara yag dapat didekati dengan menggunakan bahasa inggris sebagai lata komunikaisnya. Di Indonesia saja dalam agam islam terdapat NU,Muhammadiyah, Persis dan PUI (persatuan umat islam), dll. Begitu juga dalam agam hindu, yahudi, nasrani atau sikh terdpat sekte-sekte yang dari kacamata tertentu dapat di pisahkan satu sama lain, nah, perbedaan-perbedaan itulah yang dapat menjadi pangkal munculnya konflik dikalangan ornag beragama dengan berbagai variasinya.
4.      Asimilasi Sebagai Faktor Sosial dalam Agama
            Jean Peaget mengartikan asimilasi sebagai proses merubah suasana menjadi bagian dari organisme manusia untuk kemudian di sesuaikan dengan tuntutan lingkungan yang di hadapinya. Secara sosiologik, asimilasi itu merupakan suatu proses yang mengakibatkan perbedaan-perbedaan kelompok hilang secara berangsur-angsur.
            Untuk mengukur berarti tidaknya pengalaman agama yang dihasilkan oleh prses asimilasi, bisa jadi dapat di gunakan empat pertimbangan yang diajukan oleh WIEMAN sebagai berikut:
a.       Mungkinkah pada saatnya orang akan dapat mengembangkan pengabdiannya terhadap tuhan secara lebih berarti bagi dirinya?
b.      Sejauhmana kemungkinan pemanfaatan pengalaman lama dalam pengalaman barunya yang lebih segar dan lebih kuat/
c.       Sejauhmana pengalaman baru yang akan dilakukannya itu dapat membebaskan dirinya dari ketegangan-ketegangan dan ketidakleluasannya akibat beban yang dialami dari pengalaman lainnya?
d.      Sejauhmana pengalaman baru itu dapat mempercepat pengertian mengenai kesempurnaan pengalaman barunya sebagai dasar pertimbangan untuk meninggalkan pengalaman lainnya.
C.    Hubungan Agama dengan Kehidupan Sosial
      Pada era modern, faktor sosial tidak lagi masuk ke dalam ritus, tetapi juga bidang kehidupan sosial lainnya misalkan keluarga, pekerjaan atau politik. Masyarakat samar-samar atau terang-terangan mesti hidup dengan mendapatkan pengakuan secara agama dan bukan sekedar kntruk sosial lain. Agama memang diset untuk masuk ke dalam kehidupan pribdi dan sosial penganutnya, bahkan secara ekstrim kepada non pengaruhnya melalui jalan pemaksaan suatu pola dan pemikiran keagamaan kepada orang lain yang tidak menyakininya. Upacara keagamaan, magis,ritual dan praktik secara pribadi dilakukan tidak lagi sebagai worship kepada tuhan belaka, akan tetapi sebagai kekuatan sosial yang menunjukan adanya geliat-geliat massif yang bisa di arahkan.
D.    Faktor Sosial Dalam Agama Dilihat Dari Segi Perubahan Sosial
      Apabila faktor sosial dalam agama bisa di jelaskan, dengan demikian, agama adalah faktor-faktor ikatan dan hubungan manusia yang mengatasnamakan kekuasaan tuhan untuk mengatur kekeuasaan yang diantara manusia sendiri, termasuk di dalamnya adalah perang yang di wariskan karena keyakinan agama.
      Dalam bidang agama, perubahan sosial ikut mempengaruhi kondisi keberagamaan masyarakat yang ditandai dengan adanya dua gejala yang sangat paradoksal. Di satu sisi, perubahan sosial itu telah membawa implikasi berupa pereduksian peran dan nilai agama. Sedangkan pada sisi lain perubahan yang terjadi melahirkan ghirrah (semangat) keagamaan yang ditandai dengan adanya kecenderungan untuk selalu meningkatkan intensitas keberagamaan.
      Berikut ini akan dikemukakan kajian teori yang relevan dengan pembahasan. Kajian-kajian yang dimaksud meliputi dua aspek. Pertama, konsep tentang perubahan sosial, teori-teori tentang perubahan sosial dan proses terjadinya perubahan sosial. Kedua, konsep tentang Agama, fungsi agama dan peran agama dalam kehidupan.
      Pendekatan pertama, menggunakan teori perubahan sosial. Perubahan sebagai fakta sosial dapat terjadi karena adanya rencana dengan maksud untuk kemajuan dan kebaikan hidup manusia. Perubahan yang direncanakan merupakan suatu perubahan yang didasarkan atas pertimbangan dan perhitungan secara matang tentang manfaat tersebut bagi kehidupan masyarakat. Cepat atau lambatnya perubahan sangat ditentukan oleh besarnya kemampuan dan tanggung jawab dari pembaharunya. Di samping itu, terletak pada kesesuaian antara program yang dirancang dengan kebutuhan masyarakat. Pihak yang menghendaki adanya perubahan disebut dengan “agent of change”. Ia bertugas sebagai pimpinan dalam mengarahkan suatu perubahan dan bertanggung jawab dalam mengawasi jalannya perubahan.
      Aspek-aspek sosial yang penting dalam membentuk pola perilaku kehidupan masyarakat adalah membentuk nilai peradaban yang rasional, adaptasi budaya dan persiapan masa depan masyarakat. Seorang pembaharu, di samping ia dituntut untuk dapat beradaptasi dan menyatu dengan masyarakat, juga harus mempunyai tanggung jawab dan martabat yang luhur demi perbaikan kehidupan masyarakat. Tugas ini nampak rumit jika dihadapkan dengan masalah yang sifatnya kultural. Karena itu ia harus memiliki wawasan dan pandangan yang luas.
      Sedangkan perubahan alami adalah perubahan-perubahan yang terjadi secara tidak sengaja atau terjadi secara otomatis. Perubahan ini dapat berlangsung dengan cepat atau lambat tergantung pada tingkat keseimbangan kehidupan masyarakat tanpa dipengaruhi oleh pihak lain. Perubahan yang terjadi secara otomatis membawa implikasi positif apabila arah dan akibatnya baik bagi masyarakat dan negatif apabila arah dan akibatnya tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
      Dalam merespon implikasi perubahan yang terjadi secara alami para filosof dan sejarawan besar seperti Arnold Toybee dan Spengler merekomendasikan bahwa untuk menghadapi persoalan yang semakin rumit, meluas dan mendalam diperlukan pengembangan tata nilai baru, pandangan dansikap-sikap baru, cara-cara serta pranata baru.
      Pendekatan kedua, bahwa perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi dalam struktur kehidupan manusia diyakini sebagai suatu peristiwa yang mempunyai proses atau mekanisme tertentu. Terjadinya proses perubahan social karena:
1.      Kontak dengan budaya lain,
2.      Sistem pendidikan formal yang maju,
3.      Sikap menghargai basil karya seseorang dan keinginan untuk maju,
4.      Toleransi, dan
5.      Sistem terbuka.[4]
            Pendekatan ketiga, industrialisasi dan perubahan social secara umum membuat masyarakat berkembang secara sekuler. Masyarakat industrialisasi dikenal sangat dinamis karena menetapkan kemampuan rasio dan semangat individualitas yang tinggi. Dengan kemampuan rasio dan cara menyikapi realitas sosial dan alam di sekitarnya, maka ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang pesat. Penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin ditingkatkan. Ilmu pengetahuan dan teknologi banyak berpengaruh terhadap cara beradaptasi dan cara pandang masyarakat terhadap lingkungan fisik serta hubungan kemanusiaan. Tanggapan terhadap masalah kemanusiaan (dalam masyarakat industrialisasi modern) didasarkan metode berfikir berdasar penalaran dan rasionalisasi. Karena itu, lingkungan sekuler berkembang dan bahkan mendesak lingkungan yang sakral. Kecenderungan ini kian mempersempit dan melemahkan gerak agama.[5]
            Namun, bagi Weber, kalkulabilitas rasional kehidupan modern justru menciptakan ”sangkar besi” dunia sosial dan dunia pribadinya kian mengecil. Ilmu pengetahuan tak bisa memberikan solusi tentang ”what ought to be”. Kondisi masyarakat dunia seperti itu, kata Weber merupakan ”kekecewaan dunia”.[6] Ukuran kedewasaan individu modern bukan lagi terletak pada penguasaannya terhadap adat, namun terhadap ilmu pengetahuan. Industrialisasi merupakan upaya meningkatkan produktifitas kerja dalam berbagai sektor, termasuk sektor pertanian dengan menggunakan prinsip rasionalisasi dan efisiensi. Sudah barang tentu, dalam proses industrialisasi digunakan berbagai teknologi mekanis yang sarat dengan efisiensi dan efektivitas dalam rangka pencapaian produktifitas. Akibat yang menyertai proses mekanisasi sudah dapat diduga; perubahan sosial.Perubahan sosial masyarakat yang tengah membangun sangat berpengaruh terhadap tingkat konsumerisme, orientasi sosial, mobilitas sosial, urbanisasi, institusi-institusi sosial-budaya, termasuk di dalamnya kesakralan agama. Nilai-nilai tradisional semakin tergeser dan tergantikan dengan nilai-nilai modern yang tidak saja terbatas pada kelembagaan formal, namun juga sampai ke institusi informal dan individual.



BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
      Agama berfungsi sebagai alat untuk memperkuat dan mengembangkan kehidupan sosial. Adapun faktor-faktor sosial dalam agama antara lain, koopreasi, kompetensi, konflik, dan asimilasi
      Pada era modern, faktor sosial tidak lagi masuk ke dalam ritus, tetapi juga bidang kehidupan sosial lainnya misalkan keluarga, pekerjaan atau politik. Agama memang diset untuk masuk ke dalam kehidupan pribdi dan sosial penganutnya, bahkan secara ekstrim kepada non penagruhnya melalui jalan pemaksaan suatu pola dan pemikiran keagamaan kepada orang lain yang tidak menyakininya. Agama adalah faktor-faktor ikatan dan hubungan manusia yang mengatasnamakan kekuasaan tuhan untuk mengatur kekuasaan yang diantara manusia sendiri, termasuk di dalamnya adalah perang yang di wariskan karena keyakinan agama. Dalam bidang agama, perubahan sosial ikut mempengaruhi kondisi keberagamaan masyarakat yang ditandai dengan adanya dua gejala yang sangat paradoksal.



DAFTAR PUSTAKA

Baihaqi , Wildan. 2012.  Psikologi Agama. Bandung: CV Insan Mandiri
Nottingham, Elizabeth K. 1985. Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta : CV.Rajawali
Soekanto, Soerjono. 1982. Fungsionalisme Impretive. Jakarta : Rajawali
Turner, Bryan S. 1974. Sosiologi Islam: Suatu telaah Analisis Atas Tesis Sosiologi Weber. Jakarta: CV. Rajawali
Sosiotalks, Sosiologi Agama: Pengertian, Teori & Contoh Studi, http://sosiologis.com/sosiologi-agama, diakses pada tanggal 16 Maret 2020 jam 07.45
Dimas, Definisi Sosial, https://definisimu.blogspot.com/2012/11/definisi-sosial.html, diakses pada tanggal 16 Maret 2020 jam 07.55




[2] Dimas, Definisi Sosial, https://definisimu.blogspot.com/2012/11/definisi-sosial.html, diakses pada tanggal 16 Maret 2020 jam 07.55
[3] Wildan Baihaqi ,Psikologi Agama,( Bandung: CV Insan Mandiri, 2012), hlm 189.
[4] Soerjono Soekanto,. Fungsionalisme Impretive. (Jakarta : Rajawali, 1982), hal. 302.
[5] Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama. ( Jakarta : CV.Rajawali, 1985), hal. 60.
[6] Bryan S. Turner, Sosiologi Islam: Suatu telaah Analisis Atas Tesis Sosiologi Weber (Jakarta CV. Rajawali, 1974), hal. 292.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar