Mata
Kuliah
|
Dosen
Pengampu
|
Psikologi
Agama
|
Suhar, S. Ag
|
FAKTOR SOSIAL DALAM AGAMA
Oleh :
Abdul Hadi
|
|
Muhammad
Mirwan
|
|
Aulia Sari
|
|
Laila Shaufia
|
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM
FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MARTAPURA
2020
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan taufik dan hidayah-Nya jualah kami
mampu menyelesaikan makalah Psykologi Agama yang berjudul “Faktor Sosial
Dalam Agama”. Sholawat dan salam senantiasa kita curahkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad SAW, beserta seluruh keluarga beliau, sahabat-sahabat
beliau, dan para pemgikut beliau dari dulu, sekarang dan masa akan datang.
Di
dalam penyajian makalah ini, kami berusaha menyajikan dalam bentuk yang
sederhana, agar mudah dalam menelaah dan memahaminya. Kami berharap dapat
bermanfaat tidak hanya untuk penyusun pada khususnya, tetapi pembaca pada
umumnya.
Kami
menyadari keterbatasan yang terdapat di dalam penyusunan makalah ini. Oleh
karena itu, kami berharap kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak,
terutama dari bapak Suhar, S. Ag, sebagai dosen pembimbing mata kuliah Psykologi
Agama demi menyempurnakan isi, cara penulisan, dll.
Akhir
kata, kami ucapkan terimakasih kepada para penerbit dan pengarang buku, serta
situs internet dalam mengikat pembahasan yang bersentuhan langsung dengan topik
yang kami susun.
Martapura, 15 Maret 2020
Penulis:
Kelompok 3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang.................................................................................. 1
B.
Rumusan
Masalah............................................................................. 1
C.
Tujuan............................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Apa
sajakah faktor-faktor sosial dalam agama?............................... 2
B.
Bagaimanakah
hubungan agama dengan kehidupan sosial?............ 9
C.
Seperti
apakah faktor sosial dalam agama dilihat dari segi perubahan sosial? 9
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan..................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam hal
kehidupan sosial keagamaan, Indonesia sangat kaya dan unik. Agama telah
mendorong lahirnya organisasi sosial keagamaan, bahkan juga partai politik,
yang membantu peran negara dalam mendidik dan mencerdaskan warga negara. Negara
sangat berterima kasih kepada agama sehingga dengan APBN negara memberikan
dukungan finansial dan politik kepada berbagai institusi sosial keagamaan.
Tokoh dan institusi sosial keagamaan juga memberikan dukungan dan masukan moral
kepada pemerintah dan negara. Yang perlu dijaga adalah jangan sampai ruang
publik dan institusi negara dijadikan obyek kontestasi hegemoni agama karena
sifat pemeluk agama yang cenderung eksklusif dan sulit menerima kritik. Yang
muncul adalah relasi kalah-menang, padahal di antara mereka baru pemula dalam
mempelajari agama.
Karena yang
demikian itulah, pada makalah ini kami akan membahas tentang faktor sosial
dalam agama
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
saja faktor-faktor sosial dalam agama?
2.
Bagaimana
hubungan agama dengan kehidupan sosial?
3.
Seperti
apa faktor sosial dalam agama dilihat dari segi perubahan sosial?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
apa saja faktor-faktor sosial dalam agama
2.
Mengetahui
bagaimana hubungan agama dengan kehidupan sosial
3.
Mengetahui
seperti apa faktor sosial dalam agama dilihat dari segi perubahan sosial
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Agama dan Sosial
Secara Etimologis, dalam
bahasa Sanskerta, kata Agama terdiri dari dua suku kata, yaitu : A yang artinya tidak dan GAMA yang artinya kacau,
kocar-kacir, berantakan. Jadi, AGAMA bermakna tidak kacau, tidak kocar-kacir,
tidak berantakan, atau adanya keteraturan dan peraturan untuk mencapai arah
atau tujuan tertentu.
Adapun dalam bahasa
Latin, kata agama berasal dari kata Religio, Religere yang artinya mengembalikan
ikatan, memperhatikan dengan saksama. Agama adalah tindakan manusia untuk
mengembalikan ikatan atau memulihkan hubungannya dengan Ilahi.
Secara terminologi,
dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia disebutkan bahwa agama adalah aturan atau
tata cara hidup manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama adalah ajaran atau sistem yang
mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang
Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia
serta lingkungannya.
Dalam sosiologi, agama
bisa dilihat sebagai sistem keyakinan atau insititusi sosial. Sebagai sistem
keyakinan, agama mempengaruhi atau bahkan menentukan bagaimana orang berpikir,
bertindak dan berperilaku. Sedangkan sebagai insitusi sosial, agama merupakan
seperangkat norma, nilai dan aturan yang membentuk pola tindakan sehingga
terorganisir dan berkembang secara dinamis dalam rentang historis tertentu.[1]
Adapun sosial merupakan rangkaian norma, moral, nilai dan aturan
yang bersumber dari kebudayaan suatu masyarakat atau komuniti yang digunakan
sebagai acuan dalam berhubungan antar manusia.[2].
B.
Faktor-Faktor Sosial dalam Agama
Dalam kegiatan sosial,
agama berperan penting dalam kehidupan sehari-hari, berikut adalah beberapa
faktor sosial didalam agama :
1.
Kooperasi
Sebagai Faktor Sosial dalam Agama
Kooperasi adalah
suatu bentuk kerjasama yang di lakukan oleh sekurang-kurangnya dua orang untuk
meraih tujuan tertentu. Dalam hal
kooperasi menjadi pendorong untuk berlangsungnya proses sosialisasi, adapun
permasalahnnya yaitu, apakah orang-orang juga perlu bekerjasama untuk
merealisasikan perlaku agamanya? Kalau iya, bagaimana kerjasamnya dengan orang
bergama itu menimbulkan proses sosialisasi? Agaknya terlalu banyak perilaku
agama yang menuntut kerjasama, terutama diantara mereka yang seagama.
Mendirikan tempat ibadah, menyelenggarakan pendidikan agama, sampai ke
melaksanakan ritual dan ibadah agama pasti memerlukan kerjasama. Orang islam
misalnya, untuk keperluan ibadahnya, mereka harus mempunyai tempat ibadah.
Betapapun di paksakannya, akan sangat sulit mendirikan masjid seorang diri,
sebab dari unsur fisiknya saja, secara kasar untuk tegaknya sebuah tempat
ibadah di perlukan pasir batam semen, tegel, kayu , genting dan kaca. Padahal
belum pernah belum pernah ada orang yang menekuni usaha membuatkan ketujuh
material bangunan tersebut sekaligus. Dari segi keahlian memasang alat-alatnya
sehingga dapat berdiri tegak suatu bangunan, juga tidak dapat di kuasai
sendiri.
Sementara untuk
memenuhi tuntutan terselangganya ibadah secara berjamaah, tentu tempat ibadah
itu harus dapat menampung sejumlah tertentu, bukan untuk orang seorang. Pendeknya
untuk mendirikan tempat ibadah khususnya masjid, pasti memerlukan banyak orang.
Sejumlah orang yang diperlukan untuk membangun suatu tempat ibadah itu harus
terikat dalam suatu kerjasama yang rapih, sehingga jelas dan tanggung jawabnya
masing-masing, tetapi masalahnya, dapatkah terkumpul sejumlah orang tanpa
didahului oleh proses sosialisasi? ini berarti pula, dapatkan terwujud
kerjasama antara tukang tembok, tukang kayu, tukang genting, tukang cat dan
sebagainnya, tanpa melalui proses sosialisasi terlebih dahulu? Disitulah
perlunya seorang A mendatangi B,C,D dst. Sementara E mengontak F,G,H dst
sehingga berlangsunglah proses sosialisasi sebelum tapi dalam rangka kerja sama
membangun sebuah tempat ibadah. Nah itu berarti
kooperasi atau kerjasama menjadi pendorong bagi orang-orang beragama, khususnya
islam untuk melakukan proses sosialisasi.
Sebagaimana dalam
masyarakat lain, dalam kelompok orang
bergama pun bekerjasama seperti itu tidak dapat dielakkan, apalagi di
tengah-tengah persamaan pendirian bahwa sentral pengabdian manusia diarahkan
kepada yang maha kuasa. Jadi dalam masyarakat agama, inti orientasi hidup
bermasyarakat itu senantiasa dipusatkan kepada tuhan istimewannya pengabdian
tuhan itu bukan sebatas harus hadir, tapi bahkan selalu aktual dalam kurun
waktu yang manapun. Aktualisasi juga bahkan sebatas menuntut penyesuaian waktu,
sebagaimana tidak dapat hanya di ukur oleh tuntutan hidup seseorang diri dalam
suatu daerah tertentu, melainkan tetap bergantung pada komunitas bermasyarakat
kenyataannya, masyarakat pun tidak akan berkembang tanpa terjalin kerjasama dan
pembagian tugas masing-masing antar individunya. Akhirnya tetap kembali pada
prinsip semula, yakni tidak akan terjadi kerja sama apabila tidak di dahului
oleh proses sosialisasi.
2.
Kompetensi
Sebagai Faktor Sosial dalam Agama
Kata “kompetensi”
dalam bahasa Inggis competititon merupakan kata benda. Kata itu berasal dari
kata kerja to compete, artinya
perjuangan untuk memperoleh superioritas. Sebagai kata benda menurut Sykes
kompetensi artinya sebagai kegiatan saling berlomba, semisal dalam ujian, usaha
dan sebagainnya; tau kegiatan saling berlomba, semisal dalam ujian, usaha dan
sebagainnya; atau kegiatan yang bersifat adu kecakapan yang melibatkan
pribadi-pribadi untuk memperoleh yang terbaik.
Itu berarti bahwa
kompetensi itu tumbuh karena adanya hajat dan kebutuhan manusia yang di
dasarkan atas ketidakpuasan yang tidak putus-putusnya, pada pihak lain di
sediakan barang, prestise dan keuntungan yang merupakan hadiah bagi keberhasilan
kompetensi tersebut. Dari uraian itu dapat di batasi bahwa kompetensi adalah
usaha yang bersifat adu kecakapan atau lomba kemampuan yang dilakukan oeh
setiap orang untuk memeperoleh prestasi atau prestise, baik bersifat/materi
maupun berupa penghargaan dan penilaian moral, semisal kalau A dan B bermain
bulutangkis didalamnya terkandung nilai kompetisi, karena sudah ada unsur ingin
memperoleh prestasi yang lebih baik satu sama lain dari lawannya, sebagaimana
satu sama lain juga ingin dhargai, paling tidak penghargaan moral, dan apabila
mungkin pada tingkat tertentu akan memperoleh imbalan materi.
Pada dasarnya
kompetesi itu dilakukan oleh setiap orang secara alamiaha, walaupun dalam
perkembangan selanjutnya untuk maksud-maksud tertentu kompetisi itu di formalkan
sedemikian rupa disertai imbalan perolehan terutama yang bersifat materi.
Sementara di sisi
lain, dari lingkunganlah manusia endapatkan unsur-unsur yang di perlukannya
unuk produksi dan konsumsi. Kebutuhan dasar manusia itu meliputi:
a.
Kebutuhan
dasar untuk kelangsungan hidup hayati
b.
Kebutuhan
dasar untuk memilih kelagsungan hidup manusiawi dan derajat kebebasan memilih
hanyalah muugkin apabila kelangsungan hidup hayati terjamin dan terpenuhi.
c.
Kalau
prinsip kompetisi itu didampingkan dengan tuntutan aktualisasi diri disertai
upaya memperoleh dengn tuntutan aktualisasi diri disertai upaya memperoleh
nilai tambah terhadap kenyataan yang ada dengan memanfaatkan potensi yang
dimilikinya.
Karena itu apabila
aktualisasi diri itu berkembnag, maka akan terjadilah empat hal sebagai
berikut:
a.
Aktualisasi
diri itu akan menumbuhkan ukuran dan tuntutan yang melebihi keadaan apa yang
ada pada diri seseorang. Artinya ia akan menuntut sesuatu yang melebihi apa
yang sudah dimilikinya, serta mengharapkan balasan yang lebih besar dari pa
yang di lakukannya.
b.
Aktualisasi
diri akan berakibat meningkatnya kemampuan seseorang secara berkelanjutan.
Peningkatan ini bisa terjadi mungkin karena membaca buku, majalah, mengikuti
kursus dan lain-lain, atau melalui perjalanan tertentu, termasuk anjang sono.
c.
Aktualisasi
diri juga akan dapat menigkatkan pengertian-pengertian, sehingga menjadi orang
yang selalu ddorong untuk meninginginkan perolehan lebih dari apa yang ada pada
dirinya. Sebab dengan eningkatkan penegrtian akan meningkat pula
keingintahuannya
d.
Aktualisasi
diri mendorong seseorang untuk mau memanfaatkan segala kemampuan dan bakat yang
di miliknya, bahkan akan berusaha menegmbangkan kemampuan bagi dirinya dengan
menyediakan modal yang sekecil-kecilnya.
Sekarang kita
dapat memahami hubungan antara kompetesi dengan aktualisasi diri. Namun masih
ada masalah lain, apakah ada hubungan antara kompetisi dan proses sosialisasi?
Kalau ada, bagaimana logikanya kompetisi dapat mendorong seseorang unutk
melakukan interaksi sosial? Pertanyaannya sederhana, dan memnag keduanya ada
hubungannya, mengingat kompetisi disini dapat di pandang sebagai tujuan
tersembunyi yang di harapkannnya, sednag proses sosialisi merupakan perantara
yang dapat menyampaikan pad aperalihan tujuan tersebut.
3.
Konflik
Sebagai Faktor Sosial dalam Agama.
Konflik adalah
kesulitan meneyeasikan pertentangan yang dialami oleh seseorang karena
dihadapkan pada keinginan-keinginan yang tidak dapat di persatukan atau
didamaikan. Atau juga bisa sebagai penyimpangan atau pertentangan sosial
berdampak terhadap individu.
Ada dua jenis
konflik yang dapat di ketahui: (1) konflik intern/individu, (2) konflik ektern/
antar anggota sosial.[3]
a.
Konflik
intern/individu.
Dari sekian banyak
pertimbangan, konflik jenis ini terjadi karena sesorang menghadapi dua pilihan
atau lebih yang sama nilainya, tanpa dapat digabungkan sekaligus. Dalam
penampakannya Atwater membagi konflik ini ke dalam empat kategori. Yaitu:
1)
Pendekatan-pendekatan
Dua orang kebutuhan
keinginan atau pilihan yang merupakan dambaan yang saling bergantung akan
menciptakan konflik yang bersifat pendekatan-pendekatan. Dalam hal ini orang
dituntut memutuskan dan menentukan pilihan terhadap dua pekerjaan yang di
pandang sama baiknya. Dalam kehidupan beragama jelas konflik seperti ini buhan
hanya ada, tetapi sering terjadi, misalnya orang islam terjebak harus memillih
antara membaca Al-Qur’an atau menegrjakan shalat sunnah, padahal keadaan
suasananya sangat mendesak, karena ia berada ada stasiun pemberhentian kereta
api. Apabila faktor ketidaktahuan dan rasa berdosa itu berakumulasi, tidak
mustahil untuk mengatasi konfliknya, orang akan meminta nasehat kepad A,
berkonsultasi dengan B, atau hanya sebatas menyatakan kebutuhan dan kesesalan
kepada C, dan seterusnya. Dorongan untuk berinteraksi seperti ini dapat
berlangsung karena mendengar orang lain atau membaca suatu tulisan, sebelum ia
mengalami sendiri. Dengan suatu konflik orang beragama akan terdorong untuk
melakukan proses sosialisasi.
2)
Penghindaran-Penghindaran
Dalam konflik jenis ini,
orang akan terpaksa harus memilih dua alternatif yang sama-sama tidak
mneyenagkan, kedua alternatif itu bersifat negatif, tapi melekat pada diri
seseorang dan tidak mungkin di persatukan.
Dalam konteks kehidupan
beragama, tidak mustahil seorang ibu yang sedang hamil mengalami konflik karena
disarankan oleh dokter unutk tidak berpuasa karena untuk kesehatan si bayi
dalam kandungannya, menghadapi keadaaan seperti itu sang ibu berpikir, apakah membatalkan
puasanya demi anak, atau meneruskan puasa, tapi keselamatan anak terancam? Dan
itulah contoh khusus dari peghindaran-penghindaran.
3)
Pendekatan
Penghindaran
Berbada dengan dua
kategori di atas konflik jenis ini terjadi karena orang harus menuntaskan,
pakah mendekati dan meraih sesuatu yang menyenangkan atau menghindari yang
memuakan. Misalnya, kalau seseorang menggunakan uang untuk memebli baju,
berarti ia harus membiarkan di dalam suasana kalut di rumah, akrena uangnya
tidak dapat di gunakan untuk rekreasi atau anjang sono pada keluarga dekat.
Lalu dalam konflik ini yaitu pendekatan dan pehindaran orang bergama akan
terpaksa melakukan proses sosialisasi.
4)
Multi
pendekatan dan penghindaran
Dalam konflik seperti
ini terkumpul harapan, keinginan dan kewajiban yang dapat mendatangkan
kesenangan dengan melarang yang pasti membuat orang bosan dan menyebalkan.
Misalnya.Ali adalah anak orang kaya yang pada mulanya setelah tamat SMA, ia
berketetapan untuk tidak melanjutkan sekolah, namun setelah mengikuti pengajian,
ia memperoleh kepastian bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib. Menyadari
kedudukannya sebagai seorang muslim, ia memantapakan diri untuk kuliah walaupun
sudah hampir dua tahun ia tidak aktif belajar. Artinya konflik seperti ini
pulalah maraknya kontak dan interaksi sosial.
b.
Konflik
Eksternal antar anggota sosial.
Kalau kita mempelajari
perkembangan kehidupan beragama, sejak dari dulu sampai sekarang agaknya tidak
akan pernah berakhir mengenai adanya perbedaan agama. Dilihat dari banyak
sedikitnya penganut suatu agama, kita dapat mengklasifikasi ke dalam agama
besar dan agama kecil walaupun sukar menetapkan batas-batas besar-kecilnya
suatu agama, akan tetapi COLE dalam pengantar buku perbandingan agama,
menyebutkan agama-agama Hindu, Yahudi,Nasrani, Islam dan Sikh sebagai lima agam
besar di dunia, karena kelima agama inilah yang paling banyak di jumpai di berbagai negara yag dapat
didekati dengan menggunakan bahasa inggris sebagai lata komunikaisnya. Di Indonesia
saja dalam agam islam terdapat NU,Muhammadiyah, Persis dan PUI (persatuan umat
islam), dll. Begitu juga dalam agam hindu, yahudi, nasrani atau sikh terdpat
sekte-sekte yang dari kacamata tertentu dapat di pisahkan satu sama lain, nah,
perbedaan-perbedaan itulah yang dapat menjadi pangkal munculnya konflik
dikalangan ornag beragama dengan berbagai variasinya.
4.
Asimilasi
Sebagai Faktor Sosial dalam Agama
Jean Peaget
mengartikan asimilasi sebagai proses merubah suasana menjadi bagian dari
organisme manusia untuk kemudian di sesuaikan dengan tuntutan lingkungan yang
di hadapinya. Secara sosiologik, asimilasi itu merupakan suatu proses yang
mengakibatkan perbedaan-perbedaan kelompok hilang secara berangsur-angsur.
Untuk mengukur
berarti tidaknya pengalaman agama yang dihasilkan oleh prses asimilasi, bisa
jadi dapat di gunakan empat pertimbangan yang diajukan oleh WIEMAN sebagai
berikut:
a.
Mungkinkah
pada saatnya orang akan dapat mengembangkan pengabdiannya terhadap tuhan secara
lebih berarti bagi dirinya?
b.
Sejauhmana
kemungkinan pemanfaatan pengalaman lama dalam pengalaman barunya yang lebih
segar dan lebih kuat/
c.
Sejauhmana
pengalaman baru yang akan dilakukannya itu dapat membebaskan dirinya dari
ketegangan-ketegangan dan ketidakleluasannya akibat beban yang dialami dari
pengalaman lainnya?
d.
Sejauhmana
pengalaman baru itu dapat mempercepat pengertian mengenai kesempurnaan
pengalaman barunya sebagai dasar pertimbangan untuk meninggalkan pengalaman
lainnya.
C.
Hubungan Agama dengan Kehidupan Sosial
Pada era modern, faktor
sosial tidak lagi masuk ke dalam ritus, tetapi juga bidang kehidupan sosial
lainnya misalkan keluarga, pekerjaan atau politik. Masyarakat samar-samar atau
terang-terangan mesti hidup dengan mendapatkan pengakuan secara agama dan bukan
sekedar kntruk sosial lain. Agama memang diset untuk masuk ke dalam kehidupan
pribdi dan sosial penganutnya, bahkan secara ekstrim kepada non pengaruhnya
melalui jalan pemaksaan suatu pola dan pemikiran keagamaan kepada orang lain
yang tidak menyakininya. Upacara keagamaan, magis,ritual dan praktik secara
pribadi dilakukan tidak lagi sebagai worship kepada tuhan belaka, akan tetapi
sebagai kekuatan sosial yang menunjukan adanya geliat-geliat massif yang bisa
di arahkan.
D.
Faktor Sosial Dalam Agama Dilihat Dari Segi Perubahan Sosial
Apabila faktor sosial
dalam agama bisa di jelaskan, dengan demikian, agama adalah faktor-faktor
ikatan dan hubungan manusia yang mengatasnamakan kekuasaan tuhan untuk mengatur
kekeuasaan yang diantara manusia sendiri, termasuk di dalamnya adalah perang
yang di wariskan karena keyakinan agama.
Dalam bidang agama,
perubahan sosial ikut mempengaruhi kondisi keberagamaan masyarakat yang
ditandai dengan adanya dua gejala yang sangat paradoksal. Di satu sisi,
perubahan sosial itu telah membawa implikasi berupa pereduksian peran dan nilai
agama. Sedangkan pada sisi lain perubahan yang terjadi melahirkan ghirrah
(semangat) keagamaan yang ditandai dengan adanya kecenderungan untuk selalu
meningkatkan intensitas keberagamaan.
Berikut ini akan
dikemukakan kajian teori yang relevan dengan pembahasan. Kajian-kajian yang
dimaksud meliputi dua aspek. Pertama, konsep tentang perubahan sosial,
teori-teori tentang perubahan sosial dan proses terjadinya perubahan sosial.
Kedua, konsep tentang Agama, fungsi agama dan peran agama dalam kehidupan.
Pendekatan pertama,
menggunakan teori perubahan sosial. Perubahan sebagai fakta sosial dapat
terjadi karena adanya rencana dengan maksud untuk kemajuan dan kebaikan hidup
manusia. Perubahan yang direncanakan merupakan suatu perubahan yang didasarkan
atas pertimbangan dan perhitungan secara matang tentang manfaat tersebut bagi
kehidupan masyarakat. Cepat atau lambatnya perubahan sangat ditentukan oleh
besarnya kemampuan dan tanggung jawab dari pembaharunya. Di samping itu,
terletak pada kesesuaian antara program yang dirancang dengan kebutuhan
masyarakat. Pihak yang menghendaki adanya perubahan disebut dengan “agent of
change”. Ia bertugas sebagai pimpinan dalam mengarahkan suatu perubahan dan
bertanggung jawab dalam mengawasi jalannya perubahan.
Aspek-aspek sosial yang
penting dalam membentuk pola perilaku kehidupan masyarakat adalah membentuk
nilai peradaban yang rasional, adaptasi budaya dan persiapan masa depan
masyarakat. Seorang pembaharu, di samping ia dituntut untuk dapat beradaptasi
dan menyatu dengan masyarakat, juga harus mempunyai tanggung jawab dan martabat
yang luhur demi perbaikan kehidupan masyarakat. Tugas ini nampak rumit jika
dihadapkan dengan masalah yang sifatnya kultural. Karena itu ia harus memiliki
wawasan dan pandangan yang luas.
Sedangkan perubahan
alami adalah perubahan-perubahan yang terjadi secara tidak sengaja atau terjadi
secara otomatis. Perubahan ini dapat berlangsung dengan cepat atau lambat
tergantung pada tingkat keseimbangan kehidupan masyarakat tanpa dipengaruhi
oleh pihak lain. Perubahan yang terjadi secara otomatis membawa implikasi
positif apabila arah dan akibatnya baik bagi masyarakat dan negatif apabila
arah dan akibatnya tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Dalam merespon implikasi
perubahan yang terjadi secara alami para filosof dan sejarawan besar seperti
Arnold Toybee dan Spengler merekomendasikan bahwa untuk menghadapi persoalan
yang semakin rumit, meluas dan mendalam diperlukan pengembangan tata nilai
baru, pandangan dansikap-sikap baru, cara-cara serta pranata baru.
Pendekatan kedua, bahwa
perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi dalam struktur kehidupan
manusia diyakini sebagai suatu peristiwa yang mempunyai proses atau mekanisme
tertentu. Terjadinya proses perubahan social karena:
1.
Kontak
dengan budaya lain,
2.
Sistem
pendidikan formal yang maju,
3.
Sikap
menghargai basil karya seseorang dan keinginan untuk maju,
4.
Toleransi,
dan
5.
Sistem
terbuka.[4]
Pendekatan ketiga,
industrialisasi dan perubahan social secara umum membuat masyarakat berkembang
secara sekuler. Masyarakat industrialisasi dikenal sangat dinamis karena
menetapkan kemampuan rasio dan semangat individualitas yang tinggi. Dengan
kemampuan rasio dan cara menyikapi realitas sosial dan alam di sekitarnya, maka
ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang pesat. Penggunaan ilmu
pengetahuan dan teknologi semakin ditingkatkan. Ilmu pengetahuan dan teknologi
banyak berpengaruh terhadap cara beradaptasi dan cara pandang masyarakat
terhadap lingkungan fisik serta hubungan kemanusiaan. Tanggapan terhadap
masalah kemanusiaan (dalam masyarakat industrialisasi modern) didasarkan metode
berfikir berdasar penalaran dan rasionalisasi. Karena itu, lingkungan sekuler
berkembang dan bahkan mendesak lingkungan yang sakral. Kecenderungan ini kian
mempersempit dan melemahkan gerak agama.[5]
Namun, bagi Weber,
kalkulabilitas rasional kehidupan modern justru menciptakan ”sangkar besi”
dunia sosial dan dunia pribadinya kian mengecil. Ilmu pengetahuan tak bisa
memberikan solusi tentang ”what ought to be”. Kondisi masyarakat dunia seperti
itu, kata Weber merupakan ”kekecewaan dunia”.[6] Ukuran
kedewasaan individu modern bukan lagi terletak pada penguasaannya terhadap
adat, namun terhadap ilmu pengetahuan. Industrialisasi merupakan upaya
meningkatkan produktifitas kerja dalam berbagai sektor, termasuk sektor
pertanian dengan menggunakan prinsip rasionalisasi dan efisiensi. Sudah barang
tentu, dalam proses industrialisasi digunakan berbagai teknologi mekanis yang
sarat dengan efisiensi dan efektivitas dalam rangka pencapaian produktifitas.
Akibat yang menyertai proses mekanisasi sudah dapat diduga; perubahan
sosial.Perubahan sosial masyarakat yang tengah membangun sangat berpengaruh
terhadap tingkat konsumerisme, orientasi sosial, mobilitas sosial, urbanisasi,
institusi-institusi sosial-budaya, termasuk di dalamnya kesakralan agama.
Nilai-nilai tradisional semakin tergeser dan tergantikan dengan nilai-nilai modern
yang tidak saja terbatas pada kelembagaan formal, namun juga sampai ke institusi
informal dan individual.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Agama berfungsi sebagai
alat untuk memperkuat dan mengembangkan kehidupan sosial. Adapun faktor-faktor
sosial dalam agama antara lain, koopreasi, kompetensi, konflik, dan asimilasi
Pada era modern, faktor
sosial tidak lagi masuk ke dalam ritus, tetapi juga bidang kehidupan sosial
lainnya misalkan keluarga, pekerjaan atau politik. Agama memang diset untuk
masuk ke dalam kehidupan pribdi dan sosial penganutnya, bahkan secara ekstrim
kepada non penagruhnya melalui jalan pemaksaan suatu pola dan pemikiran
keagamaan kepada orang lain yang tidak menyakininya. Agama adalah faktor-faktor
ikatan dan hubungan manusia yang mengatasnamakan kekuasaan tuhan untuk mengatur
kekuasaan yang diantara manusia sendiri, termasuk di dalamnya adalah perang
yang di wariskan karena keyakinan agama. Dalam bidang agama, perubahan sosial
ikut mempengaruhi kondisi keberagamaan masyarakat yang ditandai dengan adanya
dua gejala yang sangat paradoksal.
DAFTAR PUSTAKA
Baihaqi , Wildan. 2012. Psikologi Agama. Bandung: CV Insan
Mandiri
Nottingham, Elizabeth K. 1985. Agama dan Masyarakat: Suatu
Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta : CV.Rajawali
Soekanto, Soerjono. 1982. Fungsionalisme
Impretive. Jakarta : Rajawali
Turner, Bryan S. 1974. Sosiologi Islam: Suatu telaah Analisis
Atas Tesis Sosiologi Weber. Jakarta: CV. Rajawali
Sosiotalks, Sosiologi Agama:
Pengertian, Teori & Contoh Studi, http://sosiologis.com/sosiologi-agama, diakses pada tanggal 16 Maret 2020 jam
07.45
Dimas, Definisi Sosial, https://definisimu.blogspot.com/2012/11/definisi-sosial.html, diakses pada tanggal 16 Maret 2020 jam
07.55
[1] Sosiotalks, Sosiologi Agama: Pengertian, Teori &
Contoh Studi, http://sosiologis.com/sosiologi-agama,
diakses pada tanggal 16 Maret 2020 jam 07.45
[2] Dimas, Definisi Sosial, https://definisimu.blogspot.com/2012/11/definisi-sosial.html, diakses pada tanggal 16 Maret 2020 jam 07.55
[3] Wildan Baihaqi
,Psikologi Agama,( Bandung: CV Insan Mandiri, 2012), hlm 189.
[4] Soerjono
Soekanto,. Fungsionalisme Impretive. (Jakarta : Rajawali, 1982), hal. 302.
[5] Elizabeth K.
Nottingham, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama. ( Jakarta :
CV.Rajawali, 1985), hal. 60.
[6] Bryan S.
Turner, Sosiologi Islam: Suatu telaah Analisis Atas Tesis Sosiologi Weber
(Jakarta CV. Rajawali, 1974), hal. 292.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar