Selasa, 07 April 2020

Makalah Bimbingan Konseling - Sejarah BK di Indonesia dan Kesalahpahaman BK


Mata Kuliah
Dosen Pembimbing
Bimbingan Konseling
Dra. Raihanatul Jannah, M.Pd

Sejarah BK di Indonesia dan Kesalahpahaman BK


OLEH :
KELOMPOK 2
NAMA
NPM
Muhammad Mirwan
18.12.4536
Hambali
18.12.4471
Hammad Riadi
18.12.4472







INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM
FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MARTAPURA
2019


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan taufik dan hidayah-Nya jualah kami mampu menyelesaikan makalah Sejarah Pendidikan Islam yang berjudul “Sejarah BK di Indonesia dan Kesalahpahaman BK”.Sholawat dan salam senantiasa kita curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta seluruh keluarga beliau, sahabat-sahabat beliau, dan para pemgikut beliau dari dulu, sekarang dan masa akan datang.
Di dalam penyajian makalah ini, kami berusaha menyajikan dalam bentuk yang sederhana, agar mudah dalam menelaah dan memahaminya. Kami berharap dapat bermanfaat tidak hanya untuk penyusun pada khususnya, tetapi pembaca pada umumnya.
Kami menyadari keterbatasan yang terdapat di dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kami berharap kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak, terutama dari bapak Dra. Raihanatul Jannah, M.Pd, sebagai dosen pembimbing mata kuliah Bimbingan Konseling demi menyempurnakan isi, cara penulisan, dll.
Akhir kata, kami ucapkan terimakasih kepada para penerbit dan pengarang buku, serta situs internet dalam mengikat pembahasan yang bersentuhan langsung dengan topik yang kami susun.


                                                              Martapura, 17 Oktober 2019
                                                                   Penulis :


                                                                       Kelompok  2

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................. I
DAFTAR ISI........................................................................................... II

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan...................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Bimbingan Konseling di Indonesia.......................... 3
B. Kesalahpahaman Bimbingan Konseling................................ 7

BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................... 14
B. Saran..................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang berfikir, yang mempunyai potensi yang sangat besar dalam hidupnya, potensi yang dimaksud adalah potensi yang baik, yang bermanfaat bagi anak dan masyarakat, manusia juga unggul dan mempunyai kemampuan untuk mengatasi persoalan kehidupannya didunia. Manusia menjadi sentral kekuatan melalui otaknya. Karena itu pendidikan haruslah mengutamakan otak (kognitif dan daya nalar). Akibatnya manusia itu amat sekuler, hanya mengutamakan duniawi saja, dan mengabaikan kekuasaan Allah. Terjadilah apa yang disebut dengan kesombongan intelektual (intellectual arrogance). Namun aspek lain yang dianggap positif adalah paham demokratis, dimana manusia dihargai harkat kemanusiaannya, mengembangkan sikap empati, terbuka, memahami, dan sebagainya. Sikap-sikap tersebut sangat mendukung bagi kegiatan Bimbingan dan konseling.
Untuk kondisi di Indonesia, sebaiknya diterapkan paham humanistik-religius. Artinya menghargai manusia atau potensinya, namun ketaatan kepada Tuhan tetap tidak terabaikan. Sebagai calon guru dengan berbagai tanggung jawab yang diempunya, yaitu mendidik para siswanya agar menjadi pribadi yang seutuhnya, memahami dirinya dan dunianya untuk mengembangkan dan dapat memanfaatkan  potensi-potensinya. Sudah selayaknya mampu memahami perkembangan peserta didiknya agar dapat memberikan materi yang efektif, efisien, dan terarah, serta mampu mengoptimalkan potensi peserta didiknya agar lebih dewasa dan mandiri dalam menghadapi problema hidupnya dan masa depan. Maka, materi bimbingan dan konseling sangat diperlukan bagi semua calon guru, karena pada hakikatnya semua guru memiliki tanggung jawab yang sama, yaitu membimbing dan mengarahkan peserta didiknya walaupun bukan sebagai guru BK
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah Bimbingan Konseling Di Indonesia?
2.      Apa saja Kesalahpahaman Tentang Bimbingan Konseling?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui bagaimana sejarah Bimbingan Konseling di Indonesia
2.      Mengetahui apa saja kesalahpahaman Bimbingan Konseling


BAB II
PEMBAHASAN

A.  SEJARAH BK DI INDONESIA
            Istilah bimbingan konseling pertama kali muncul saat Frank Parson memperkenalkan istilah bimbingan vocational untuk membantu para kaum muda dalam menyesuaikan diri dengan dunia pekerjaan. Peristiwa penting pada masa ini yakni dengan dibentuknya biro bimbingan pekerjaan di Boston yang dikenla dengan Boston Vocational Bureau pada tahun 1900-an. Parson dalam hal ini memiliki peran penting dalam pengembangan layanan bimbingan karir. Selain mengenal bimbingan karir, pada masa ini pun dikenal bimbingan dalam bidang pendidikan yang dipelopori oleh Jesse B. Davis yang memandang bahwa perlu adanya bimbingan pengembangan karakter dan pencegahan masalah dalam sistem persekolahan. Sedangkan istilah konseling mulai dikenal saat Cifford Beers membantu para penderita kesehatan mental memperjuangkan hak mereka dalam memperoleh fasilitas, dan mereformasi perlakuan yang lebih baik terhadap mereka. Sehingga banyak orang di kalangan psikiatri dan psikologi klinis yang menyebut halaman ini sebagai konseling.[1]
            Sejarah lahirnya bimbingan dan konseling di Indonesia diawali dari dimasukkannya Bimbingan dan Konseling (dulunya Bimbingan dan Penyuluhan) pada setting sekolah. Pemikiran ini diawali sejak tahun 1960. Hal ini merupakan salah satu hasil Konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP, yang kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20-24 Agustus 1960. Perkembangan berikutnyatahun 1964 IKIP Bandung dan IKIP Malang mendirikan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Tahun 1971 berdiri Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) pada delapan IKIP yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP Surabaya, IKIP Malang dan IKIP Manado. Melalui proyek ini, Bimbingan dan Penyuluhan dikembangkan, juga berhasil disusun “Pola Dasar Rencana dan Pengembangan Bimbingan dan Penyuluhan” pada PPSP. Lahirnya kurikulum 1975 untuk Sekolah Menengah Atas didalamnya memuat Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan.
            Tahun 1978 diselenggarakan program PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP (setingkat D2 atau D3) untuk mengisi jabatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekoalh yang sampai saat itu belum ada jatah pengangkatan guru BP dari tamatan S1 Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Pengangkatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah mulai diadakan sejak PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan. Keberadaan Bimbingan dan Penyuluhan secara legal formal diakui tahun 1989 dengan lahirnya SK Menpan No. 026/Menpan?1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkunag Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di dalam Kepmen tersebut ditetapkan secara resmi adaya kegiatan pelayanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah. Akan tetapi pelaksanaan di sekolah masih belum jelasseperti pemikiran awal untuk mendukung misi sekolah dan membantu peserta didik untuk mencapai tujuan mereka. Sampai pada tahun 1993, pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas, parahnya lagi pemgguna terutama orang tua murid berpandangan kurang bersahabat dengan BP. Muncul anggaan bahwa anak yang ke BP identik dengan anak yang bermasalah, kalau orang tua murid diundang ke sekolah oleh guru BP, dibenak orang tua terpikir bahwa anaknya di sekolah mesti bermasalah atau ada masalah. Hingga lahirnya SK Menpan No. 83/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya yang di dalamnya termuat aturan tentang Bimbingan dan Konseling di sekolah. Ketentuan pokok dalam SK Menpan itu dijabarkan lebih lanjut melalui SK Mendikbud No. 025/1995 sebagai petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Di dalam SK Mendikbud ini istilah Bimbingan dan Penyuluhan diganti menjadi Bimbingan dan Konseling di sekolah dan dilaksanakan oleh Guru Pembimbing, di sinilah pola pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah mulai jelas.[2]
            Sejalan perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia, terdapat empat periode yang menunjukkan sejarah bimbingan dan konseling, diantaranya yakni : Periode Prawacana dan Pengenalan (1960-1970), Periode Pemasyarakatan (1970-1990), Periode Konsolidasi (1990-2000), Periode Lepas Landas.
Ø  Periode I  dan II : Prawacana dan Pengenalan (Sebelum 1960-1970-an)
            Pada periode ini pembicaraan tentang bimbingan dan konseling telah dimulai, terutama oleh para pendidik yang pernaah mempelajarinya di luar negeri. Periode ini berpuncak dengan dibukanya Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan pada tahun 1963 di IKIP Bandung (sekarang UPI: Universitas Pendidikan Indonesia). Pembukaan jurusan ini menandai dimulainya periode kedua yang secara tidak langsung memperkenalkan pelayanan BP kepada masyarakat akademik, dan pendidik. Sukses periode kedua ini ditandai dengan dua keberhasilan, yaitu diluluskannya sejumlah sarjana BP, dan semakin dipahami dan dirasakan kebutuhan akan pelayanan tersebut.
Ø  Periode III : Pemasyarakatan (1970-1990-an)
            Pada periode ini diberlakukannya kurikulum 1975 untuk Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Tingkat Atas. Kurikulum ini secara resmi mengintegrasikan ke dalamnya layanan BP untuk siswa. Pada tahun ini terbentuk organisasi profesi BP dangan nama IPBI (Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia). Pada periode ketiga ini ditandai juga dengan pemberlakuan kurikulum 1984. Dalam kurikulum ’84 ini, pelayanan BP difokuskan pada bidang bimbingan karir. Pada periode ini muncul beberapa permasalahan, seperti:
1)      Berkembangnya pemahaman yang keliru, yaitu mengidentikkan bimbingan karir (BK) dengan bimbingan penyuluhan (BP), sehingga muncul istilah BK/BP.
2)      Kerancuan dalam mengimplementasikan SK Menpan No. 26/Menpan/ 1989 terhadap penyelenggaraan layanan bimbingan di sekolah. Dalam SK tersebut terimplikasi bahwa semua guru dapat diserahi tugas melaksanakan pelayanan BP. Akibatnya pelayanan BP menjadi kabur, baik pemahaman maupun implementasinya.
Ø  Periode IV : Konsolidasi (1990-2000)
            Pada periode ini, IPBI berusaha keras untuk mengubah kebijakan bahwa pelayanan BP itu dapat dilaksanakan oleh semua guru (seperti terjadi pada periode ke empat di atas). Pada periode ini ditandai oleh:
1)      Diubahnya secara resmi kata penyuluhan menjadi konseling. Istilah yang dipakai sekarang adalah bimbingan dan konseling yang disingkat menjadi BK.
2)      Pelayanan BK di sekolah hanya dilaksanakan oleh guru pembimbing yang secara khusus ditugasi untuk itu.
3)      Mulai diselenggarakan penataran (nasional dan daerah) untuk guru-guru pembimbing
4)      Mulai adanya formasi untuk pengangkatan menjadi guru pembimbing
5)      Pola pelayanan BK di sekolah “dikemas” dalam “BK Pola 17”
6)      Dalam bidang kepengawasan sekolah, dibentuk kepengawasan bidang BK
7)      Dikembangkannya sejumlah panduan pelayanan BK di sekolah yang lebih operasional oleh IPBI
Ø  Periode V : Lepas Landas
            Semula diharapkan periode konsolidasi (IV) akan dapat mencapai hasil-hasil yang memadai, sehingga mulai tahun 2001, profesi BK di Indonesia sudah dapat tinggal landas. Namun kenyataan menunjukkan bahwa masih ada permasalahan yang belum terkonsolidasi, yang berkenaan dengan sumber daya manusia (SDM). Kelemahannya berakar dari kondisi untrained, undertrained, dan uncommited para pelaksana layanan. Walaupun begitu, pada tahun-tahun setelah konsolidasi terdapat beberapa peristiwa yang dapat dijadikan tonggak bagi pengembangan profesi konseling menuju era lepas landas, yaitu :
1)      Penggantian nama organisasi profesi dari IPBI menjadi ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia)
2)      Lahirnya Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang didalamnya termuat ketentuan bahwa konselor termasuk salah satu jenis tenaga pendidik (Bab I Pasal 1 Ayat 4)
3)      Kerjasama Pengurus Besar ABKIN dengan DIKTI DEPDIKNAS tentang standarisasi profesi konseling.
4)      Kerjasama ABKIN dengan Direktorat PLP dalam merumuskan kompetensi guru pembimbing (konselor) SMP dan sekaligus memberikan pelatihan kepada mereka.[3]

B.   KESALAHPAHAMAN BIMBINGAN KONSELING
            Pemahaman orang dalam melihat bimbingan dan konseling, baik dalam tatanan konsep maupun praktiknya yang tentunya sangat mengganggu terhadap pencitraan dan laju pengembangan profesi ini. Kekeliruan pemahaman ini tidak hanya terjadi dikalangan orang-orang yang berada diluar bimbingan dan konseling, tetapi juga banyak ditemukan dikalangan orang-orang terlibat langsung dengan bimbingan dan konseling. Diantara kesalahpahaman dalam bimbingan dan konseling tersebut adalah:[4]
1.      Bimbingan dan konseling sama saja dengan atau dipisahkan sama sekali  dari pendidikan.
            Ada dua pendapat yang ekstern berkenaan dengan pelayanan bimbingan dan konseling:
a)      Bimbingan dan konseling sama saja dengan pendidikan. Paradigma ini menganggap bahwa pelayanan khusus bimbingan dan konseling tidak disekolah. Bukankah sekolah telah menyelenggarakan pendidik. Akibatnya sekolah akhirnya cenderung terlalu mengutamakan pengajaran dan mengabaikan aspek-aspek lain dari pendidikan serta tidak melihat sama sekali pentingnya bimbingan dan konseling.
b)      Pelayanan bimbingan dan konseling harus benar-benar dilaksanakan secara khusus oleh tenaga yang benar-benar ahli dengan perlengkapan (alat, tempat dan sarana) yang benar-benar memenuhi syarat. Pelayanan bimbingan dan konseling harus nyata dibedakan dari praktek pendidikan sehari-hari.
Usaha bimbingan dan konseling dapat menjalankan peranan yang amat berarti dalam melayani kepentingan siswa khususnya yang belum terpenuhi secara baik, dalam hal ini peranan bimbingan dan konseling ialah menunjang seluruh usaha sekolah demi keberhasilan anak didik. Untuk menjadi konselor yang baik, seseorang perlu menguasai keterampilan dasar, baik kerampilan pribadi dalam memberikan konseling maupun kematangan dalam penyusunan program bimbingan dan konseling disekolah.

2.      Konselor disekolah dianggap sebagai polisi sekolah.
            Masih banyak anggapan bahwa peranan konselor disekolah adalah sebagai polisi sekolah yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin, dan keamanan sekolah. Konselor ditugaskan mencari-cari siswa yang bersalah dan diberi wewenang untuk mengambil tindakan bagi siswa-siswi yang bersalah. Konselor didorong untuk mencari bukti-bukti atau berusaha agar siswa mengaku bahwa ia telah berbuat sesuatu yang tidak pada tempatnya atau kurang wajar, atau merugikan. Berdasarkan pandangan itu, wajar bila siswa tidak mau datang kepada konselor karena menganggap bahwa dengan datang kepada konselor berarti menunjukkan aib, ia mengalami ketidakberesan tertentu, ia tidak dapat berdiri sendiri, ia telah berbuat salah, atau predikat-predikat negatif lainnya. Padahal sebaliknya, dari segenap anggapan yang merugikan itu, disekolah konselor haruslah menjadi teman dan kepercayaan siswa serta tempat pencurahan kepentingan siswa.

3.      Bimbingan dan konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian nasihat.
            Bimbingan dan konseling bukan hanya bantuan yang berupa pemberian nasihat. Pemberian nasihat hanyalah merupakan sebagian kecil dari upaya-upaya bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal. Disamping memerlukan pemberian nasihat, pada umumnya klien sesuai dengan masalah yang dialaminya, memerlukan pula pelayanan lain seperti pemberian informasi, penempatan dan penyaluran, konseling, bimbingan belajar, pengalih tangan kepada petugas yang lebih ahli dan berwenang, layanan kepada orang tua siswa dan masyarakat dan lain sebagainya.

4.      Bimbingan dan konseling dibatasi hanya menangani masalah yang bersifat insidental.
            Memang tidak dipungkiri lagi pekerjaan bimbingan dan konseling salah satunya titik tolak dari masalah yang dirasakan siswa, khususnya dalah rangka pelayanan responsif, tetapi hal ini bukan berarti bimbingan dan konseling dikerjakan secara spontan dan hanya bersifat reaktif atas masalah-masalah yang muncul pada saat itu. Pekerjaan bimbingan dan konseling dilakukan berdasarkan program yang sistematis dan terencana, yang didalamnya menggambarkan sejumlah pekerjaan bimbingan dan konseling yang bersifat proaktif dan antisipatif, baik untuk kepentingan pencegahan, pengembangan maupun penyembuhan (pengentasan).

5.      Bimbingan dan konseling dibatasi hanya untuk klien-klien tertentu saja.
            Bimbingan dan konseling tidak hanya diperuntukkan bagi siswa yang bermasalah atau siswa yang memiliki kelebihan tertentu saja, namun bimbingan dan konseling harus dapat melayani seluruh siswa (Guidance and Caunseling For All). Setiap siswa berhak mendapatkan kesempatan pelayanan yang sama, melalui berbagai bentuk pelayanan bimbingan dan konseling yang tersedia.

6.      Bimbingan dan konseling melayani orang sakit atau kurang normal.
            Bimbingan dan konseling tidak melayani orang sakit atau kurang normal, karena bimbingan dan konseling hanya melayani orang-orang yang normal yang mengalami masalah. Melalui bantuan psikologi yang diberikan konselor, diharapkan orang tersebut dapat terbebas dari masalah yang menghadapinya. Jika seseorang mengalami keabnormalan, tentunya menjadi wewenang psikiater atau dokter untuk penyembuhannya. Koselor yang memiliki kemampuan yang tinggi akan mampu mendeteksi dan mempertimbangkan lebih jauh tentang mantap atau kurang mantapnya fungsi-fungsi yang ada pada klien sehingga kliennya itu perlu dialihtangankan untuk keberhasilan pelayanan.

7.      Bimbingan dan konseling berkerja sendiri atau harus bekerja sama dengan ahli atau petugas lain.
            Pelayanan bimbingan dan konseling bukan proses yang terisolasi, melainkan proses yang sarat dengan unsur-unsur budaya, sosial, lingkungan. Oleh karenanya pelayanan bimbingan dan konseling tidak mungkin menyendiri. Konselor perlu berkerja sama dengan orang-orang yang diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang sedang dihadapi klien. Misalnya, di sekolah masalah-masalah yang dihadapi siswa tidak berdiri sendiri. Masalah itu sering kali terkait dengan orang tuan, guru, dan pihak-pihak lain, terkait pula dengan berbagai unsur lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat sekitar. Oleh sebab itu, penanggulangan tidak dapat dilakukan sendiri oleh konselor. Dalam hal ini peranan guru mata pelajaran, orang tua dan pihak-pihak lain sangat kali menentukan. Konselor harus pandai menjalin hubungan  kerja sama yang saling mengerti dan saling menunjang demi terbentunya siswa yang mengalami masalah.

8.      Konselor harus aktif, sedangkan pihak lain pasif.
            Sesuai dengan asas kegiatan, disamping konselor yang bertindak sebagai pusat penggerak bimbingan dan konseling, pihak lain pun, terutama klien harus secara langsung aktif terlibat dalam proses tersebut. Lebih jauh pihak-pihak lain hendaknya tidak membiarkan konselor bergerak dan berjalan sendiri. Mereka hendaknya membantu kelancaran usaha pelayanan itu. Pada dasarnya pelayanan bimbingan dan konseling adalah usaha bersama yang beban kegiatannya tidak semata-mata ditimpahkan hanya kepada konselor saja. Jika kegiatan yang pada dasarnya bersifat usaha bersama itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja, dalam hal ini konselor maka hasilnya akan kurang mantap, tersendat-sendat atau bahkan tidak berjalan sama sekali.

9.      Menganggap pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja.
            Benarkah pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja?. Jawabannya bisa saja “benar” dan bisa pula “tidak”. Jawabannya “benar” jika bimbingan dan konseling dianggap sebagai pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan secara amatiran belaka. Sedangkan jawaban “tidak”, jika bimbingan dan konseling dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan dan teknologi (yaitu mengikuti filosofi, tujuan, metode, dan asas-asas tertentu), dengan kata lain dilaksanakan secara profesional. Salah satu ciri keprofesionalan bimbingan dan konseling adalah bahwa pelayanan itu harus dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keahliannya itu diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang cukup lama diperguruan tinggi.

10.  Pelayanan bimbingan dan konseling berpusat pada keluhan pertama saja.
            Pada umumnya usaha pemberian bantuan memang diawali dengan melihat gejala-gejala atau keluhan awal yang disampaikan oleh klien. Namun demikian, jika permasalahan itu dilanjutkan, dialami, dan dikembangkan, sering kali ternyata bahwa masalah yang sebenarnya lebih jauh, lebih luas dan lebih pelik apa yang sekedar tampak atau disampaikan itu. Kadang-kadang masalah yang sebenarnya sama sekali lain daripada yang tampak atau dikemukakan itu. Usaha pelayanan seharusnyalah dipusatkan paa masalah yang sebenarnya itu. Konselor tidak boleh terpukau oleh keluhan atau masalah yang pertama yang disampaikan oleh klien. Konselor harus mampu menyelami sedalam-dalamnya masalah klien yang sebenarnya. Misalnya menemukan siswa yang jarang masuk kelas, pelayanan dan pembicaraan pelayanan bimbingan dan konseling malah berkutat pada persoalan tidak masuk kelas, bukan menggali sesuatu yang lebih dalam dibalik tidak masuk kelasnya
.
11.  Menyamakan pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter atau psikiater.
            Memang dalam hal-hal tertentu terdapat kesamaan antara pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater, yaitu sama-sama menginginkan klien atau pasien terbebas dari penderita yang dialaminya, melalui berbagai teknik yang teruji sesuai dengan masing-masing bidang pelayanan, baik dalam mengungkap masalah klien atau pasien, mendiagnosis, melakukan prognosis atau pun penyembuhannya. Dengan demikian pekerjaan bimbingan dan konseling tidak lah persis sama dengan pekerjaan dokter atau psikiater. Dokter atau psikiater berkerja dengan orang sakit, sedangkan konselor berkerja dengan orang yang normal (sehat namun sedang mengalami masalah). Cara penyembuhan yang dilakukan dokter atau psikiater bersifat reseptual dan pemberian obat, serta teknis medis lainnya, sementara bimbingan dan konseling memberikan cara-cara pemecahan masalah secara konseptual melalui pengubahan orientasi pribadi, penguatan mental/ psikis, modifikasi perilaku, teknik-teknik khas bimbingan dan konseling.
12.    Menganggap hasil pekerjaan bimbingan dan konseling harus segera dilihat.
            Disadari bahwa semua orang menghendaki agar masalah yang dihadapi klien dapat diatasi sesegerah mungkin dan hasilnya pun dapat segera dilihat. Namun harapan itu sering kali tidak terkabul, lebih-lebih kalau yang dimaksud dengan cepat itu adalah dalam hitungan detik atau jam. Hasil bimbingan dan konseling tidaklah seperti makan sambal, begitu masuk kemulut akan terasa pedasnya. Hasil bimbingan dan konseling mungkin saja baru dirasakan beberapa hari kemudian, atau bahkan beberapa tahun kemudian. Misalnya siswa yang mengkonsultasi tentang cita-citanya untuk menjadiseorang dokter, mungkin manfaatdari hasil konsultasi akan dirasakannya justru pada saat setelah dia menjadi seorang doter.

13.    Menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien.
            Cara apa pun yang akan dipakai untuk mengatasi masalah haruslah disesuaikan dengan pribadi klien dan berbagai hal yang terkait dengannya. Tidak ada suatu cara pun yang ampuh untuk semua klien dan semua masalah. Bahkan sering kali terjadi, untuk masalah yang sama pun cara yang dipakai pun berbeda. Masalah yang tampaknya sama setelah dikaji secara mendalam mungkin ternyata hakikatnya berbeda, sehingga diperlukan cara yang berbeda untuk mengatasi. Pada dasarnya, pemakaiaan sesuatu cara tergantung pada pribadi klien, jenis dan sifat masalah, tujuan yang ingin dicapai, kemampuan petugas bimbingan dan konseling dan sarana yang tersedia.

14.    Memusatkan usaha bimbingan dan konseling hanya pada penggunaan instrumentasi bimbingan dan konseling (misalnya tes, inventori, angket, dan alat pengungkap lainnya).
            Perlu diketahui bahwa perlengkapan dan sarana utama yang pasti ada dan dapat dikembangkan pada diri konselor ialah keterampilan pribadi. Dengan kata lain, ada dan digunakan instrument (tes, inventori, angket, dan sebagainya itu) hanyalah sekadar pembantu. Ketiadaan alat-alat itu tidak boleh mengganggu, menghambat, ataupun melumpuhkan sama sekali usaha pelayanan bimbingan dan konseling. Oleh sebab itu, konselor tidak menjadikan ketiadaan instrument seperti itu sebagai alasan atau dalih untuk mengurangi, apalagi tidak melaksanakan layanan bimbingan dan konseling sama sekali. Petugas bimbingan dan konseling yang baik akan selalu menggunakan apa yang dimiliki secara optimal sambil terus berusaha mengembangkan saranasarana penunjang yang diperlukan.

15.    Bimbingan dan konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-masalah yang ringan saja.
            Ukuran berat-ringanya suatu masalah memang menjadi relatif, seringkali masalah seseorang dianggap sepele, namun setelah diselami lebih dalam ternyata masalah itu sangat kompleks dan berat. Begitu pula sebaliknya, suatu masalah dianggap berat namun setelah dipelajari lebih jauh ternyata hanya masalah ringan saja. Terlepas  berat ringan yang paling penting bagi konselor adalah berusaha untuk mengatasinya secara cermat dan tuntas. Jika segenap kemampuan konselor sudah dikerahkan namun belum juga menunjukan perbaikan maka konselor seyogyanya mengalihtangankan masalah kepada pihak yang lebih kompeten.


BAB III
PENUTUP
A.                 KESIMPULAN
            Istilah bimbingan konseling pertama kali muncul saat Frank Parson memperkenalkan istilah bimbingan vocational untuk membantu para kaum muda dalam menyesuaikan diri dengan dunia pekerjaan.
            Sejarah lahirnya bimbingan dan konseling di Indonesia diawali dari dimasukkannya Bimbingan dan Konseling (dulunya Bimbingan dan Penyuluhan) pada setting sekolah. Pemikiran ini diawali sejak tahun 1960. Hal ini merupakan salah satu hasil Konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP, yang kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20-24 Agustus 1960.
            Sejalan perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia, terdapat empat periode yang menunjukkan sejarah bimbingan dan konseling, diantaranya yakni : Periode Prawacana dan Pengenalan (1960-1970), Periode Pemasyarakatan (1970-1990), Periode Konsolidasi (1990-2000), Periode Lepas Landas.

B.                 SARAN
            Besar harapan kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan kita semua sebagai mahasiswa. Serta meningkatkan rasa penasaran dan ingin tahu dan sebagai pendorong daya tarik kita dalam memahami tentangSejarah BK di Indonesia dan Kesalahpahaman BK yang terjadi. Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan sebagai perbaikan dalam penyusunan makalah berikutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Irmayanti, Rima, “Bimbingan dan Konseling Sebagai Profesi Khusus”,Quanta.     Vol. 2 No. 1

Basuki, Agus, Landasan Historis Bimbingan dan Konseling, Yogyakarta : UNY    Press, 2009.

Yusuf, Syamsu dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling,           Bandung : Rosdakarya 2011

Mustaqim, Wahid, Kesalahpahaman Tentang Tugas Guru BK.             http://wahidmustaqim.blogspot.com/2014/01/normal-0-false-false-false-in-             x-none-x.html?m=1, 2014. Di akses pada 15 Oktober 2019, jam 18.31.


[1] Irmayanti, Rima, “Bimbingan dan Konseling Sebagai Profesi Khusus”,Quanta. Vol. 2 No. 1 Hal. 24
[2] Basuki, Agus, Landasan Historis Bimbingan dan Konseling, Yogyakarta : UNY Press, 2009. Hal. 3-5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar