Mata Kuliah
|
Dosen Pembimbing
|
Bimbingan Konseling
|
Dra. Raihanatul Jannah,
M.Pd
|
Sejarah BK di Indonesia
dan Kesalahpahaman BK
OLEH :
KELOMPOK 2
NAMA
|
NPM
|
Muhammad Mirwan
|
18.12.4536
|
Hambali
|
18.12.4471
|
Hammad Riadi
|
18.12.4472
|
INSTITUT AGAMA ISLAM
DARUSSALAM
FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MARTAPURA
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan
taufik dan hidayah-Nya jualah kami mampu menyelesaikan makalah Sejarah
Pendidikan Islam yang berjudul “Sejarah BK di Indonesia dan Kesalahpahaman BK”.Sholawat dan salam senantiasa kita curahkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta seluruh keluarga beliau,
sahabat-sahabat beliau, dan para pemgikut beliau dari dulu, sekarang dan masa
akan datang.
Di dalam penyajian makalah ini, kami berusaha
menyajikan dalam bentuk yang sederhana, agar mudah dalam menelaah dan
memahaminya. Kami berharap dapat bermanfaat tidak hanya untuk penyusun pada
khususnya, tetapi pembaca pada umumnya.
Kami menyadari keterbatasan yang terdapat di
dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kami berharap kritik dan saran
yang membangun dari berbagai pihak, terutama dari bapak Dra. Raihanatul Jannah,
M.Pd, sebagai
dosen pembimbing mata kuliah Bimbingan Konseling demi menyempurnakan isi, cara penulisan, dll.
Akhir kata, kami ucapkan terimakasih kepada
para penerbit dan pengarang buku, serta situs internet dalam mengikat pembahasan
yang bersentuhan langsung dengan topik yang kami susun.
Martapura,
17 Oktober 2019
Penulis :
Kelompok 2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................. I
DAFTAR ISI........................................................................................... II
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan...................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Bimbingan Konseling di Indonesia.......................... 3
B. Kesalahpahaman Bimbingan Konseling................................ 7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................... 14
B. Saran..................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang
berfikir, yang mempunyai potensi yang sangat besar dalam hidupnya, potensi yang
dimaksud adalah potensi yang baik, yang bermanfaat bagi anak dan masyarakat,
manusia juga unggul dan mempunyai kemampuan untuk mengatasi persoalan
kehidupannya didunia. Manusia menjadi sentral kekuatan melalui otaknya. Karena
itu pendidikan haruslah mengutamakan otak (kognitif dan daya nalar). Akibatnya
manusia itu amat sekuler, hanya mengutamakan duniawi saja, dan mengabaikan
kekuasaan Allah. Terjadilah apa yang disebut dengan kesombongan intelektual
(intellectual arrogance). Namun aspek lain yang dianggap positif adalah paham
demokratis, dimana manusia dihargai harkat kemanusiaannya, mengembangkan sikap
empati, terbuka, memahami, dan sebagainya. Sikap-sikap tersebut sangat
mendukung bagi kegiatan Bimbingan dan konseling.
Untuk kondisi di Indonesia, sebaiknya
diterapkan paham humanistik-religius. Artinya menghargai manusia atau
potensinya, namun ketaatan kepada Tuhan tetap tidak terabaikan. Sebagai calon
guru dengan berbagai tanggung jawab yang diempunya, yaitu mendidik para
siswanya agar menjadi pribadi yang seutuhnya, memahami dirinya dan dunianya
untuk mengembangkan dan dapat memanfaatkan potensi-potensinya. Sudah
selayaknya mampu memahami perkembangan peserta didiknya agar dapat memberikan
materi yang efektif, efisien, dan terarah, serta mampu mengoptimalkan potensi
peserta didiknya agar lebih dewasa dan mandiri dalam menghadapi problema
hidupnya dan masa depan. Maka, materi bimbingan dan konseling sangat diperlukan
bagi semua calon guru, karena pada hakikatnya semua guru memiliki tanggung
jawab yang sama, yaitu membimbing dan mengarahkan peserta didiknya walaupun
bukan sebagai guru BK
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Bimbingan Konseling Di
Indonesia?
2. Apa saja Kesalahpahaman Tentang Bimbingan
Konseling?
C. Tujuan
1. Mengetahui bagaimana sejarah Bimbingan
Konseling di Indonesia
2. Mengetahui apa saja kesalahpahaman Bimbingan
Konseling
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH BK DI
INDONESIA
Istilah
bimbingan konseling pertama kali muncul saat Frank Parson memperkenalkan
istilah bimbingan vocational untuk membantu para kaum muda dalam
menyesuaikan diri dengan dunia pekerjaan. Peristiwa penting pada masa ini
yakni dengan dibentuknya biro bimbingan pekerjaan di Boston yang dikenla dengan
Boston Vocational Bureau pada tahun 1900-an. Parson dalam hal ini
memiliki peran penting dalam pengembangan layanan bimbingan karir. Selain
mengenal bimbingan karir, pada masa ini pun dikenal bimbingan dalam bidang
pendidikan yang dipelopori oleh Jesse B. Davis yang memandang bahwa perlu
adanya bimbingan pengembangan karakter dan pencegahan masalah dalam sistem
persekolahan. Sedangkan istilah konseling mulai dikenal saat Cifford Beers
membantu para penderita kesehatan mental memperjuangkan hak mereka dalam
memperoleh fasilitas, dan mereformasi perlakuan yang lebih baik terhadap
mereka. Sehingga banyak orang di kalangan psikiatri dan psikologi klinis yang
menyebut halaman ini sebagai konseling.[1]
Sejarah lahirnya bimbingan
dan konseling di Indonesia diawali dari dimasukkannya Bimbingan dan Konseling
(dulunya Bimbingan dan Penyuluhan) pada setting sekolah. Pemikiran ini diawali
sejak tahun 1960. Hal ini merupakan salah satu hasil Konferensi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP, yang kemudian menjadi IKIP) di
Malang tanggal 20-24 Agustus 1960. Perkembangan berikutnyatahun 1964 IKIP
Bandung dan IKIP Malang mendirikan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Tahun 1971
berdiri Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) pada delapan IKIP yaitu IKIP
Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP
Surabaya, IKIP Malang dan IKIP Manado. Melalui proyek ini, Bimbingan dan
Penyuluhan dikembangkan, juga berhasil disusun “Pola Dasar Rencana dan
Pengembangan Bimbingan dan Penyuluhan” pada PPSP. Lahirnya kurikulum 1975 untuk
Sekolah Menengah Atas didalamnya memuat Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan.
Tahun 1978 diselenggarakan
program PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP (setingkat D2 atau D3)
untuk mengisi jabatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekoalh yang sampai saat
itu belum ada jatah pengangkatan guru BP dari tamatan S1 Jurusan Bimbingan dan
Penyuluhan. Pengangkatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah mulai
diadakan sejak PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan. Keberadaan Bimbingan
dan Penyuluhan secara legal formal diakui tahun 1989 dengan lahirnya SK Menpan
No. 026/Menpan?1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkunag
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di dalam Kepmen tersebut ditetapkan
secara resmi adaya kegiatan pelayanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah. Akan
tetapi pelaksanaan di sekolah masih belum jelasseperti pemikiran awal untuk
mendukung misi sekolah dan membantu peserta didik untuk mencapai tujuan mereka.
Sampai pada tahun 1993, pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak
jelas, parahnya lagi pemgguna terutama orang tua murid berpandangan kurang
bersahabat dengan BP. Muncul anggaan bahwa anak yang ke BP identik dengan anak
yang bermasalah, kalau orang tua murid diundang ke sekolah oleh guru BP,
dibenak orang tua terpikir bahwa anaknya di sekolah mesti bermasalah atau ada
masalah. Hingga lahirnya SK Menpan No. 83/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru
dan Angka Kreditnya yang di dalamnya termuat aturan tentang Bimbingan dan
Konseling di sekolah. Ketentuan pokok dalam SK Menpan itu dijabarkan lebih
lanjut melalui SK Mendikbud No. 025/1995 sebagai petunjuk pelaksanaan Jabatan
Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Di dalam SK Mendikbud ini istilah
Bimbingan dan Penyuluhan diganti menjadi Bimbingan dan Konseling di sekolah dan
dilaksanakan oleh Guru Pembimbing, di sinilah pola pelaksanaan Bimbingan dan
Konseling di sekolah mulai jelas.[2]
Sejalan perkembangan
bimbingan dan konseling di Indonesia, terdapat empat periode yang menunjukkan
sejarah bimbingan dan konseling, diantaranya yakni : Periode Prawacana dan
Pengenalan (1960-1970), Periode Pemasyarakatan (1970-1990), Periode Konsolidasi
(1990-2000), Periode Lepas Landas.
Ø Periode I dan II : Prawacana dan Pengenalan (Sebelum
1960-1970-an)
Pada periode ini pembicaraan tentang
bimbingan dan konseling telah dimulai, terutama oleh para pendidik yang pernaah
mempelajarinya di luar negeri. Periode ini berpuncak dengan dibukanya Jurusan
Bimbingan dan Penyuluhan pada tahun 1963 di IKIP Bandung (sekarang UPI:
Universitas Pendidikan Indonesia). Pembukaan jurusan ini menandai dimulainya
periode kedua yang secara tidak langsung memperkenalkan pelayanan BP kepada
masyarakat akademik, dan pendidik. Sukses periode kedua ini ditandai dengan dua
keberhasilan, yaitu diluluskannya sejumlah sarjana BP, dan semakin dipahami dan
dirasakan kebutuhan akan pelayanan tersebut.
Ø Periode III : Pemasyarakatan
(1970-1990-an)
Pada periode ini diberlakukannya
kurikulum 1975 untuk Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Tingkat Atas.
Kurikulum ini secara resmi mengintegrasikan ke dalamnya layanan BP untuk siswa.
Pada tahun ini terbentuk organisasi profesi BP dangan nama IPBI (Ikatan Petugas
Bimbingan Indonesia). Pada periode ketiga ini ditandai juga dengan pemberlakuan
kurikulum 1984. Dalam kurikulum ’84 ini, pelayanan BP difokuskan pada bidang
bimbingan karir. Pada periode ini muncul beberapa permasalahan, seperti:
1)
Berkembangnya pemahaman yang keliru, yaitu mengidentikkan bimbingan karir
(BK) dengan bimbingan penyuluhan (BP), sehingga muncul istilah BK/BP.
2)
Kerancuan dalam mengimplementasikan SK Menpan No. 26/Menpan/ 1989 terhadap
penyelenggaraan layanan bimbingan di sekolah. Dalam SK tersebut terimplikasi
bahwa semua guru dapat diserahi tugas melaksanakan pelayanan BP. Akibatnya
pelayanan BP menjadi kabur, baik pemahaman maupun implementasinya.
Ø Periode IV : Konsolidasi
(1990-2000)
Pada periode ini, IPBI berusaha
keras untuk mengubah kebijakan bahwa pelayanan BP itu dapat dilaksanakan oleh
semua guru (seperti terjadi pada periode ke empat di atas). Pada periode ini
ditandai oleh:
1)
Diubahnya secara resmi kata penyuluhan menjadi konseling. Istilah yang
dipakai sekarang adalah bimbingan dan konseling yang disingkat menjadi BK.
2)
Pelayanan BK di sekolah hanya dilaksanakan oleh guru pembimbing yang secara
khusus ditugasi untuk itu.
3)
Mulai diselenggarakan penataran (nasional dan daerah) untuk guru-guru
pembimbing
4)
Mulai adanya formasi untuk pengangkatan menjadi guru pembimbing
5)
Pola pelayanan BK di sekolah “dikemas” dalam “BK Pola 17”
6)
Dalam bidang kepengawasan sekolah, dibentuk kepengawasan bidang BK
7)
Dikembangkannya sejumlah panduan pelayanan BK di sekolah yang lebih
operasional oleh IPBI
Ø Periode V : Lepas Landas
Semula diharapkan periode
konsolidasi (IV) akan dapat mencapai hasil-hasil yang memadai, sehingga mulai
tahun 2001, profesi BK di Indonesia sudah dapat tinggal landas. Namun kenyataan
menunjukkan bahwa masih ada permasalahan yang belum terkonsolidasi, yang
berkenaan dengan sumber daya manusia (SDM). Kelemahannya berakar dari kondisi untrained,
undertrained, dan uncommited para pelaksana layanan. Walaupun
begitu, pada tahun-tahun setelah konsolidasi terdapat beberapa peristiwa yang
dapat dijadikan tonggak bagi pengembangan profesi konseling menuju era lepas
landas, yaitu :
1)
Penggantian nama organisasi profesi dari IPBI menjadi ABKIN (Asosiasi
Bimbingan dan Konseling Indonesia)
2)
Lahirnya Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yang didalamnya termuat ketentuan bahwa konselor termasuk salah satu
jenis tenaga pendidik (Bab I Pasal 1 Ayat 4)
3)
Kerjasama Pengurus Besar ABKIN dengan DIKTI DEPDIKNAS tentang standarisasi
profesi konseling.
4)
Kerjasama ABKIN dengan Direktorat PLP dalam merumuskan kompetensi guru
pembimbing (konselor) SMP dan sekaligus memberikan pelatihan kepada mereka.[3]
B. KESALAHPAHAMAN
BIMBINGAN KONSELING
Pemahaman orang dalam melihat bimbingan dan konseling,
baik dalam tatanan konsep maupun praktiknya yang tentunya sangat mengganggu
terhadap pencitraan dan laju pengembangan profesi ini. Kekeliruan pemahaman ini
tidak hanya terjadi dikalangan orang-orang yang berada diluar bimbingan dan
konseling, tetapi juga banyak ditemukan dikalangan orang-orang terlibat
langsung dengan bimbingan dan konseling. Diantara kesalahpahaman dalam
bimbingan dan konseling tersebut adalah:[4]
1. Bimbingan dan konseling sama
saja dengan atau dipisahkan sama sekali
dari pendidikan.
Ada dua pendapat yang
ekstern berkenaan dengan pelayanan bimbingan dan konseling:
a) Bimbingan dan konseling sama
saja dengan pendidikan. Paradigma ini menganggap bahwa pelayanan khusus
bimbingan dan konseling tidak disekolah. Bukankah sekolah telah
menyelenggarakan pendidik. Akibatnya sekolah akhirnya cenderung terlalu
mengutamakan pengajaran dan mengabaikan aspek-aspek lain dari pendidikan serta
tidak melihat sama sekali pentingnya bimbingan dan konseling.
b) Pelayanan bimbingan dan
konseling harus benar-benar dilaksanakan secara khusus oleh tenaga yang
benar-benar ahli dengan perlengkapan (alat, tempat dan sarana) yang benar-benar
memenuhi syarat. Pelayanan bimbingan dan konseling harus nyata dibedakan dari
praktek pendidikan sehari-hari.
Usaha bimbingan dan konseling
dapat menjalankan peranan yang amat berarti dalam melayani kepentingan siswa
khususnya yang belum terpenuhi secara baik, dalam hal ini peranan bimbingan dan
konseling ialah menunjang seluruh usaha sekolah demi keberhasilan anak didik.
Untuk menjadi konselor yang baik, seseorang perlu menguasai keterampilan dasar,
baik kerampilan pribadi dalam memberikan konseling maupun kematangan dalam
penyusunan program bimbingan dan konseling disekolah.
2. Konselor disekolah dianggap
sebagai polisi sekolah.
Masih
banyak anggapan bahwa peranan konselor disekolah adalah sebagai polisi sekolah
yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin, dan keamanan
sekolah. Konselor ditugaskan mencari-cari siswa yang bersalah dan diberi
wewenang untuk mengambil tindakan bagi siswa-siswi yang bersalah. Konselor
didorong untuk mencari bukti-bukti atau berusaha agar siswa mengaku bahwa ia
telah berbuat sesuatu yang tidak pada tempatnya atau kurang wajar, atau
merugikan. Berdasarkan pandangan itu, wajar bila siswa tidak mau datang kepada
konselor karena menganggap bahwa dengan datang kepada konselor berarti
menunjukkan aib, ia mengalami ketidakberesan tertentu, ia tidak dapat berdiri
sendiri, ia telah berbuat salah, atau predikat-predikat negatif lainnya.
Padahal sebaliknya, dari segenap anggapan yang merugikan itu, disekolah
konselor haruslah menjadi teman dan kepercayaan siswa serta tempat pencurahan
kepentingan siswa.
3. Bimbingan dan konseling dianggap
semata-mata sebagai proses pemberian nasihat.
Bimbingan
dan konseling bukan hanya bantuan yang berupa pemberian nasihat. Pemberian
nasihat hanyalah merupakan sebagian kecil dari upaya-upaya bimbingan dan
konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan
klien dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal. Disamping
memerlukan pemberian nasihat, pada umumnya klien sesuai dengan masalah yang
dialaminya, memerlukan pula pelayanan lain seperti pemberian informasi,
penempatan dan penyaluran, konseling, bimbingan belajar, pengalih tangan kepada
petugas yang lebih ahli dan berwenang, layanan kepada orang tua siswa dan
masyarakat dan lain sebagainya.
4. Bimbingan dan konseling dibatasi
hanya menangani masalah yang bersifat insidental.
Memang
tidak dipungkiri lagi pekerjaan bimbingan dan konseling salah satunya titik
tolak dari masalah yang dirasakan siswa, khususnya dalah rangka pelayanan
responsif, tetapi hal ini bukan berarti bimbingan dan konseling dikerjakan
secara spontan dan hanya bersifat reaktif atas masalah-masalah yang muncul pada
saat itu. Pekerjaan bimbingan dan konseling dilakukan berdasarkan program yang
sistematis dan terencana, yang didalamnya menggambarkan sejumlah pekerjaan
bimbingan dan konseling yang bersifat proaktif dan antisipatif, baik untuk
kepentingan pencegahan, pengembangan maupun penyembuhan (pengentasan).
5. Bimbingan dan konseling dibatasi
hanya untuk klien-klien tertentu saja.
Bimbingan
dan konseling tidak hanya diperuntukkan bagi siswa yang bermasalah atau siswa
yang memiliki kelebihan tertentu saja, namun bimbingan dan konseling harus
dapat melayani seluruh siswa (Guidance and Caunseling For All). Setiap
siswa berhak mendapatkan kesempatan pelayanan yang sama, melalui berbagai
bentuk pelayanan bimbingan dan konseling yang tersedia.
6. Bimbingan dan konseling melayani
orang sakit atau kurang normal.
Bimbingan
dan konseling tidak melayani orang sakit atau kurang normal, karena bimbingan
dan konseling hanya melayani orang-orang yang normal yang mengalami masalah. Melalui
bantuan psikologi yang diberikan konselor, diharapkan orang tersebut dapat
terbebas dari masalah yang menghadapinya. Jika seseorang mengalami keabnormalan,
tentunya menjadi wewenang psikiater atau dokter untuk penyembuhannya. Koselor
yang memiliki kemampuan yang tinggi akan mampu mendeteksi dan mempertimbangkan
lebih jauh tentang mantap atau kurang mantapnya fungsi-fungsi yang ada pada
klien sehingga kliennya itu perlu dialihtangankan untuk keberhasilan pelayanan.
7. Bimbingan dan konseling berkerja
sendiri atau harus bekerja sama dengan ahli atau petugas lain.
Pelayanan
bimbingan dan konseling bukan proses yang terisolasi, melainkan proses yang
sarat dengan unsur-unsur budaya, sosial, lingkungan. Oleh karenanya pelayanan
bimbingan dan konseling tidak mungkin menyendiri. Konselor perlu berkerja sama
dengan orang-orang yang diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang
sedang dihadapi klien. Misalnya, di sekolah masalah-masalah yang dihadapi siswa
tidak berdiri sendiri. Masalah itu sering kali terkait dengan orang tuan, guru,
dan pihak-pihak lain, terkait pula dengan berbagai unsur lingkungan rumah,
sekolah dan masyarakat sekitar. Oleh sebab itu, penanggulangan tidak dapat
dilakukan sendiri oleh konselor. Dalam hal ini peranan guru mata pelajaran,
orang tua dan pihak-pihak lain sangat kali menentukan. Konselor harus pandai
menjalin hubungan kerja sama yang saling mengerti dan saling
menunjang demi terbentunya siswa yang mengalami masalah.
8. Konselor harus aktif, sedangkan
pihak lain pasif.
Sesuai
dengan asas kegiatan, disamping konselor yang bertindak sebagai pusat penggerak
bimbingan dan konseling, pihak lain pun, terutama klien harus secara langsung
aktif terlibat dalam proses tersebut. Lebih jauh pihak-pihak lain hendaknya
tidak membiarkan konselor bergerak dan berjalan sendiri. Mereka hendaknya
membantu kelancaran usaha pelayanan itu. Pada dasarnya pelayanan bimbingan dan
konseling adalah usaha bersama yang beban kegiatannya tidak semata-mata ditimpahkan
hanya kepada konselor saja. Jika kegiatan yang pada dasarnya bersifat usaha
bersama itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja, dalam hal ini konselor maka
hasilnya akan kurang mantap, tersendat-sendat atau bahkan tidak berjalan sama
sekali.
9. Menganggap pekerjaan bimbingan
dan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja.
Benarkah
pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja?. Jawabannya
bisa saja “benar” dan bisa pula “tidak”. Jawabannya “benar” jika bimbingan dan
konseling dianggap sebagai pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan secara
amatiran belaka. Sedangkan jawaban “tidak”, jika bimbingan dan konseling
dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan dan teknologi (yaitu
mengikuti filosofi, tujuan, metode, dan asas-asas tertentu), dengan kata lain
dilaksanakan secara profesional. Salah satu ciri keprofesionalan bimbingan dan
konseling adalah bahwa pelayanan itu harus dilakukan oleh orang-orang yang
ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keahliannya itu diperoleh melalui
pendidikan dan latihan yang cukup lama diperguruan tinggi.
10. Pelayanan bimbingan dan
konseling berpusat pada keluhan pertama saja.
Pada
umumnya usaha pemberian bantuan memang diawali dengan melihat gejala-gejala
atau keluhan awal yang disampaikan oleh klien. Namun demikian, jika
permasalahan itu dilanjutkan, dialami, dan dikembangkan, sering kali ternyata
bahwa masalah yang sebenarnya lebih jauh, lebih luas dan lebih pelik apa yang
sekedar tampak atau disampaikan itu. Kadang-kadang masalah yang sebenarnya sama
sekali lain daripada yang tampak atau dikemukakan itu. Usaha pelayanan
seharusnyalah dipusatkan paa masalah yang sebenarnya itu. Konselor tidak boleh
terpukau oleh keluhan atau masalah yang pertama yang disampaikan oleh klien.
Konselor harus mampu menyelami sedalam-dalamnya masalah klien yang sebenarnya.
Misalnya menemukan siswa yang jarang masuk kelas, pelayanan dan pembicaraan
pelayanan bimbingan dan konseling malah berkutat pada persoalan tidak masuk
kelas, bukan menggali sesuatu yang lebih dalam dibalik tidak masuk kelasnya
.
11. Menyamakan pekerjaan bimbingan
dan konseling dengan pekerjaan dokter atau psikiater.
Memang dalam hal-hal tertentu terdapat kesamaan antara
pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater, yaitu sama-sama
menginginkan klien atau pasien terbebas dari penderita yang dialaminya, melalui
berbagai teknik yang teruji sesuai dengan masing-masing bidang pelayanan, baik
dalam mengungkap masalah klien atau pasien, mendiagnosis, melakukan prognosis
atau pun penyembuhannya. Dengan demikian pekerjaan bimbingan dan konseling
tidak lah persis sama dengan pekerjaan dokter atau psikiater. Dokter atau
psikiater berkerja dengan orang sakit, sedangkan konselor berkerja dengan orang
yang normal (sehat namun sedang mengalami masalah). Cara penyembuhan yang
dilakukan dokter atau psikiater bersifat reseptual dan pemberian obat, serta
teknis medis lainnya, sementara bimbingan dan konseling memberikan cara-cara
pemecahan masalah secara konseptual melalui pengubahan orientasi pribadi,
penguatan mental/ psikis, modifikasi perilaku, teknik-teknik khas bimbingan dan
konseling.
12. Menganggap hasil pekerjaan
bimbingan dan konseling harus segera dilihat.
Disadari
bahwa semua orang menghendaki agar masalah yang dihadapi klien dapat diatasi
sesegerah mungkin dan hasilnya pun dapat segera dilihat. Namun harapan itu
sering kali tidak terkabul, lebih-lebih kalau yang dimaksud dengan cepat itu
adalah dalam hitungan detik atau jam. Hasil bimbingan dan konseling tidaklah
seperti makan sambal, begitu masuk kemulut akan terasa pedasnya. Hasil
bimbingan dan konseling mungkin saja baru dirasakan beberapa hari kemudian,
atau bahkan beberapa tahun kemudian. Misalnya siswa yang mengkonsultasi tentang
cita-citanya untuk menjadiseorang dokter, mungkin manfaatdari hasil konsultasi
akan dirasakannya justru pada saat setelah dia menjadi seorang doter.
13. Menyamaratakan cara pemecahan
masalah bagi semua klien.
Cara
apa pun yang akan dipakai untuk mengatasi masalah haruslah disesuaikan dengan
pribadi klien dan berbagai hal yang terkait dengannya. Tidak ada suatu cara pun
yang ampuh untuk semua klien dan semua masalah. Bahkan sering kali terjadi,
untuk masalah yang sama pun cara yang dipakai pun berbeda. Masalah yang
tampaknya sama setelah dikaji secara mendalam mungkin ternyata hakikatnya
berbeda, sehingga diperlukan cara yang berbeda untuk mengatasi. Pada dasarnya,
pemakaiaan sesuatu cara tergantung pada pribadi klien, jenis dan sifat masalah,
tujuan yang ingin dicapai, kemampuan petugas bimbingan dan konseling dan sarana
yang tersedia.
14. Memusatkan usaha bimbingan dan
konseling hanya pada penggunaan instrumentasi bimbingan dan konseling (misalnya
tes, inventori, angket, dan alat pengungkap lainnya).
Perlu
diketahui bahwa perlengkapan dan sarana utama yang pasti ada dan dapat
dikembangkan pada diri konselor ialah keterampilan pribadi. Dengan kata lain,
ada dan digunakan instrument (tes, inventori, angket, dan sebagainya itu)
hanyalah sekadar pembantu. Ketiadaan alat-alat itu tidak boleh mengganggu,
menghambat, ataupun melumpuhkan sama sekali usaha pelayanan bimbingan dan
konseling. Oleh sebab itu, konselor tidak menjadikan ketiadaan instrument
seperti itu sebagai alasan atau dalih untuk mengurangi, apalagi tidak
melaksanakan layanan bimbingan dan konseling sama sekali. Petugas bimbingan dan
konseling yang baik akan selalu menggunakan apa yang dimiliki secara optimal
sambil terus berusaha mengembangkan saranasarana penunjang yang diperlukan.
15. Bimbingan dan konseling dibatasi
pada hanya menangani masalah-masalah yang ringan saja.
Ukuran
berat-ringanya suatu masalah memang menjadi relatif, seringkali masalah
seseorang dianggap sepele, namun setelah diselami lebih dalam ternyata masalah
itu sangat kompleks dan berat. Begitu pula sebaliknya, suatu masalah dianggap
berat namun setelah dipelajari lebih jauh ternyata hanya masalah ringan saja.
Terlepas berat ringan yang paling penting bagi konselor adalah berusaha
untuk mengatasinya secara cermat dan tuntas. Jika segenap kemampuan konselor
sudah dikerahkan namun belum juga menunjukan perbaikan maka konselor seyogyanya
mengalihtangankan masalah kepada pihak yang lebih kompeten.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Istilah bimbingan
konseling pertama kali muncul saat Frank Parson memperkenalkan istilah
bimbingan vocational untuk membantu para kaum muda dalam menyesuaikan
diri dengan dunia pekerjaan.
Sejarah lahirnya bimbingan
dan konseling di Indonesia diawali dari dimasukkannya Bimbingan dan Konseling
(dulunya Bimbingan dan Penyuluhan) pada setting sekolah. Pemikiran ini diawali
sejak tahun 1960. Hal ini merupakan salah satu hasil Konferensi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP, yang kemudian menjadi IKIP) di
Malang tanggal 20-24 Agustus 1960.
Sejalan perkembangan
bimbingan dan konseling di Indonesia, terdapat empat periode yang menunjukkan
sejarah bimbingan dan konseling, diantaranya yakni : Periode Prawacana dan
Pengenalan (1960-1970), Periode Pemasyarakatan (1970-1990), Periode Konsolidasi
(1990-2000), Periode Lepas Landas.
B.
SARAN
Besar
harapan kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan kita
semua sebagai mahasiswa. Serta meningkatkan rasa penasaran dan ingin tahu dan
sebagai pendorong daya tarik kita dalam memahami tentangSejarah BK di Indonesia
dan Kesalahpahaman BK yang terjadi. Kami menyadari bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik
yang membangun sangat kami harapkan sebagai perbaikan dalam penyusunan makalah
berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Irmayanti, Rima, “Bimbingan dan Konseling Sebagai
Profesi Khusus”,Quanta. Vol. 2
No. 1
Basuki, Agus, Landasan Historis Bimbingan dan
Konseling, Yogyakarta : UNY Press,
2009.
Yusuf, Syamsu dan Juntika Nurihsan, Landasan
Bimbingan dan Konseling, Bandung
: Rosdakarya 2011
Mustaqim, Wahid, Kesalahpahaman Tentang Tugas
Guru BK. http://wahidmustaqim.blogspot.com/2014/01/normal-0-false-false-false-in- x-none-x.html?m=1,
2014. Di akses pada 15 Oktober 2019, jam 18.31.
[4] Mustaqim,
Wahid, Kesalahpahaman Tentang Tugas Guru BK. http://wahidmustaqim.blogspot.com/2014/01/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html?m=1, 2014. Di akses pada 15 Oktober 2019, jam 18.31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar